Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Semburan Asmara Bertaut , Cerita Cinta Romantis

Cerpen Cinta Romantis Terbaru



Cerlians - Mentari pagi bersinar cerah menyambut bahagia, tanpa rasa berbeda dari biasanya. Dia, laki-laki yang selalu bersama, memang sering hadir untuk menemani. Meski caranya yang membuatku sedikit heran, tentang bagaimana memperlakukan kekasih.

Aku berlari santai mengelilingi taman setiap minggu, menyempatkan waktu rehat dari kepenatan sibuk harian. Sedikit rasa nyaman menenangkan kala hati tidak menentu, sesekali jalan mengatur nafas untuk kembali lari lagi. Melelahkan juga menyehatkan!

“Ayu!” teguran itu menghentikan langkah untuk sejenak menoleh ke arah samping kiri.

“Tumben udah bangun?” berjalan menghampiri David, yang sudah lebih duduk duduk di bangku terbuat dari besi berada di taman.

“Mau nemani kamu. Makanya tadi ibu bangunin aku pagi banget masih ngantuk lagi!” memperhatikanku yang kini sudah duduk bersebelahan, memberikan air mineral kemasan.

“Tidur lagi saja!" Pandanganku beralih ke arah bawah, "Masa kamu mau nemenin aku olahraga pakai sendal?”

“Cuma mau semangati kamu saja, aku tunggu di sini!” seraya mengeluarkan ponsel dari saku karena cukup menggangu kalau duduk.

“Terserah kamu!” beranjaklah tubuh untuk melanjutkan berlari satu putaran lagi, seperti biasa cukup tiga putaran keliling taman.

Langkah kaki mengayun bergantian, menapak pada alas berasal dari komposisi semen. Terus berlari melewati orang-orang yang melakukan aktivitas serupa, di mana suasana perlahan mulai ramai.

Dari kejauhan aku dapat melihat keberadaan David, telah sibuk bermain game. Bisa dibilang seluruh waktunya habis dengan menatap layar berukuran enam inci tersebut, hingga sering melupakan keberadaan diriku yang selalu bersamanya. Kadang sedikit dongkol atas segala sikap dan aktivitas kurang bermanfaat itu, namun aku tetap bertahan, karena perasaan ini begitu besar.

“Katanya mau jogging?" Baru saja menyadari aku telah berada di sampingnya, "Sudah  Capek?”

"Sudah selesai. Kamu datang ke sini mau ketemu aku atau main game terus? Capek aku" aku menjawab dengan ketus, sungguh pagi yang bikin emosi harus berhadapan dengannya.

"Ya, mau ketemu kamulah" David mulai mencoba merayu, sebab tahu kalau aku bakal marah jika sudah membahas prioritas.

Menarik nafas panjang seraya menghembus pelan, "Jangan main game terus!"

"Oke-oke, jangan ketus gitu!" David meraih tanganku untuk digenggam menuju arah tempat parkir berada, "Kalau gitu nanti malam kita jalan, mau enggak?" 

"Mau dong, mau jalan ke mana?" dalam waktu sekejap suasana hatiku mulai membaik, wajah kusut kini telah enak dipandang.

"Terserah kamu maunya ke mana, pokoknya kalau sudah siap tinggal telepon aku bakal jemput!"

Aku berpacaran dengan David lumayan lama, walau sering bertengkar beberapa kali mengenai masalah sepele, namun tetap sama aku kadang marah hingga enggan untuk diajak berbicara. Bagaimana tidak, posisiku selalu diganti sama game online favoritnya itu.

Laki-laki yang pandai memberi kebahagiaan lewat cara sederhana, tutur kata jujur selalu diucap meski berakhir bertengkar. Namun, hadir menjadi sandaran dan pendengar baik setiap keluh-kesah. Ada rasa nyaman yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya juga bagaimana cara menghargai orang lain.

Mungkin kekurangannya hanya terlalu sibuk bermain game online, sering bikin aku marah tetapi begitu mudah meluluhkan perasaan. Pernah suatu ketika harapan itu tercelutuk, mengenai bisa bersama selamanya bersama David.

“Buruan- buruan.... elo jalan duluan gue selesaikan ini dulu!” omelan yang terus terucap setiap kali bermain game online.

“Main saja terus, kita enggak jadi jalan!" aku mengomel berjalan menghampirinya yang duduk santai di kursi rumah.

"Kamu sudah selesai mandinya, berangkat sekarang?" David beranjak dari posisi duduk meski tangannya masih sibuk menatap layar ponsel.

"Kamu lanjut main game saja, kita batalkan janji yang tadi, aku sudah malas mau keluar sama kamu...."

"Aku main game sambil tunggu kamu mandi, lama banget..."

"Ya kan aku mesti dandan dulu!" enggak mau kalah.

David meraih tanganku untuk keluar dari ruang tamu, "Kita jalan ya sekarang. Kamu mau ke mana?"

"Terserah"

"Ke taman, kafe, nonton atau belanja?" pilihan yang sering kali terulang jika ingin jalan berdua, dengan maksud agar tidak marah lagi.

"Kafe"

Jawaban singkat menjadi penutup obrolan kali ini, David memilih untuk diam sambil berkendara menuju kafe biasa. Sesekali pandangannya melihat arah spion untuk memastikan, namun aku melihat arah spion itu, membuat David mengalihkan pandangan ke arah depan lagi.

Malam yang hangat, perlahan mengusir rasa sesak dalam dada, membiarkan suasana mengambil alih perasaan menjadi ketenangan. Pandangan terus menatap dua belah sisi secara bergantian, berjejer orang berjualan pada pinggiran jalan raya.

Aroma sedap dari kepulan asap cukup menarik perhatian, hanya saja aku telah memutuskan untuk pergi ke kafe. Walau begitu pasti David mau membelikan, namun aku merasa kalau itu malah berlebihan. Mungkin kalau ada kesempatan lain kali saja singgah di tempat sekitar sini, sambil meninggalkan lalu lalang kendaraan.

Salah paham soal cinta...

Janji David untuk menemani berbelanja ke minimarket, telah sampai depan teras rumah lebih awal. Dikeluarkan ponsel dari saku untuk menghubungi, "Baru juga mau aku telepon sudah keluar!"

"Aku dengar suara motor kamu, jadi aku buru-buru keluar, berangkat sekarang?" berjalanlah aku menghampiri sambil menenteng helm dari dalam rumah.

"Pelan-pelan ya!" Pintaku memegang perut yang lumayan sakit, membuat aku semakin mudah sakit perut jika jalanan banyak polisi tidur.

"Kamu sudah minum obat pereda nyeri?"

"Belum, makanya aku mau sekalian beli di apotik dekat minimarket. Sumpah semalam aku enggak bisa tidur, gara-gara nyeri"

"Sering-sering di kompres pakai air hangat, yang sabar ya jangan marah-marah!"

David paling takut jika aku marah-marah ketika sedang datang bulan, emosi yang naik turun sering tidak stabil. Kadang aku hampir pingsan menahan rasa nyeri tanpa henti, itulah alasan kenapa suka marah.

Jarum jam tangan menunjukkan pukul 16.36 menit sesampai di depan teras minimarket. Di parkiran pada garis pembatas antar sepeda, lalu David mengikuti langkah kakiku yang lebih dahulu masuk ke dalam. Rak tempat pembalut adalah pilihan utama, sebab di rumah sudah habis.

Aku telah mengambil yang berukuran tiga puluh sembilan sentimeter pada bagian baris paling depan, lalu mencari yang selalu aku pakai di saat hari menstruasi pertengahan, belum juga kunjung terlihat.

“Nyari sayap?” kini David telah berdiri di sampingku dengan posisi ke dua tangan berada di saku jaket.

“Iya” melihat beberapa merek pembalut, memang minimarket ini terbilang lebih besar dan hampir berbagai keperluan ada.

“Bentar" diamati rak yang berada di depannya, lalu berjongkok pada rak bagian bawah sendiri memilah pembalut yang aku maksud, "Tinggal dua ambil sekalian saja!"

“Aku tadi nyari enggak ada” mengarahkan ke ranjang belanja agar di masukkan ke dalam, memang dari tadi aku terlalu fokus melihat ke arah rak atas saja.

“Ada, tertutup sama merek lain”

“Makasih. Aku mau beli camilan di sana sekalian minuman yang lagi viral itu!"

"Aku mau juga" mengambil keranjang belanja dari tanganku, memang itu kebiasaan David setiap kali berbelanja.

“Hai!” tegur seseorang yang begitu tidak asing bagiku, "Lama kita enggak ketemu?"

Aku terkejut ketika tahu Febri datang menghampiri atau tidak sengaja bertemu di tempat yang sama. Tapi itu tidak penting, sebab sekarang aku sedang bersama David pacarku. Febri, mantanku yang sudah lama putus.

"Ayo kita pergi, aku sudah selesai!" Aku menggandeng tangan David untuk menghindari setiap pertemuan dengan Febri, belum bisa menerima atas apa yang telah terjadi.

"Ayu, kamu mau sampai kabar bohong sama dia? Soal perasaan kamu, aku tahu kamu masih suka sama aku kan" tertahan menatap ke arah David, "Dia harus tahu yang sejujurnya, kalau kamu sebenarnya terima dia, cuma karena kasihan bukan cinta"

"Maksud elo apa, enggak usah ngarah cerita?" terpancinglah emosi David mendengar ucapan itu terlontar dari mulut Febri, sedangkan aku memilih untuk diam menunduk.

"Gue tanya sekarang. Seberapa sering elo di tolak ayu, sampai bisa terima cinta elo? Jadi orang mikir dikit, elo bego banget kalau enggak sadar...."

"Apa yang dia omongin benar?" David kecewa dengan anggukan yang aku berikan, "Kenapa?"

“Aku bakal jelasin semuanya, tapi enggak di sini!” menatap wajah David yang tampak menahan air matanya, di sini aku merasa sangat bersalah atas apa yang telah aku lakukan.

“Benarkan yang gue bilang?”

“Mending sekarang pergi dari sini. Karena gue sudah enggak ada perasaan sedikitpun sama elo...." mengusir keberadaan Febri dari hadapanku merupakan pilihan tepat, yang sekarang aku pikirkan hanya David telah kecewa padaku.

“Enggak ada yang salah sama omongan Febri barusan. Aku terima kamu karena kasihan, selama ini kamu selalu berusaha dekati aku dengan berbagai cara, tapi sering aku tolak....aku....”

David memotong, “Aku enggak nyangka kamu tega, apa bedanya aku mencintai dan pacaran sama kamu, sedangkan hati kamu bukan buat aku!”

Kepergian David sejak kejadian itu, telah menjadi pikiran panjang dalam benak. Berbagai macam pertanyaan terus melayang tanpa ada jawaban, aku merasa kepala perlahan semakin sakit. Sebab terlalu sering berpikir keras, bahkan rasa sesak ini kian semakin kuat.

Pintu kamar terkunci rapat, camilan yang ingin aku makan bersama David kini tergeletak pada rak dekat lemari pakaian. Cukup lama mengunci diri dengan bekas tangis yang masih belum kering, mata telah sembab entas berapa lama aku menangis di balik bantal.

Dua hari menyendiri tidak makan dan minum, perlahan tubuh ini tanpa sadar tidak lagi kuat untuk berdiri. Berkali-kali suara terus memanggil sejak kemarin, tetapi tidak aku gubris. Enggan beranjak hanya sekedar membuka pintu kamar atau membalas pertanyaan dari luar.

Suara yang aku nantikan, kini dapat terdengar jelas. Bersama nada khawatir, "Maaf saya baru bisa datang"

"Ibu enggak tahu apa yang terjadi diantara kalian, tapi ibu minta tolong untuk bujuk Ayu biar mau keluar!" nada bekas menangis itu terdengar dengan suara sesenggukan.

“Sejak kapan ayu seperti ini, Bu?”

“Sejak pulang belanja, sudah dua hari dia enggak makan sama minum. Ibu khawatir dia kenapa-kenapa!” air mata mulai menetes membasahi pipi.

“Ayu buka pintunya!” panggil David berkali-kali tanpa ada jawaban.

“Bu, Ayu enggak respon ucapan saya. Saya takut dia kenapa-kenapa, apa ada kunci cadangan?”

“Semua kunci ada di kamarnya!”

Butuh waktu lama untuk bisa membuka pintu, namun David tidak akan mudah menyerah. Sebab suara tangis dari dalam kamar sudah tidak lagi terdengar, memancing rasa khawatir semakin mendalam.

Setelah dobrakan pintu berkali-kali akhirnya terbuka, "Ayu...."

Tidak kuasa lagi David menahan tangis, melihat posisi tubuh telah tergelatak lemas dengan mata sembab dan air mata belum kering. Membetulkan posisi tubuh sejajar, menggenggam tanganku lebih erat, merasa menyesal.

“Ibu hubungi dokter sebentar!" Ibu dengan khawatir berjalan keluar kamar mengambil ponsel, untung saja lokasi  rumah dokter hanya berjarak lima rumah dari sini.

Beberapa menit kemudian dokter datang dengan ibu, "Saya periksa terlebih dahulu!"

"Anak saya kenapa dok?"

"Anak ibu pingsan dalam keadaan perut kosong dan terlalu kecapean, sebentar lagi juga siuman!" jelas dokter itu memasukkan kembali alat ke dalam tas.

Hampir tiga puluh menit lebih aku pingsan, aroma minyak kayu putih terasa begitu menyengat, beberapa badan terasa hangat. Kepalaku masih terasa sakit, rasa sesak nafas masih tetap ada oleh sumbatan bekas menangis.

“Bu!” suaraku lemas mengetahui ibu terus mondar-mandir.

“Sayang kamu udah bangun? Ibu buatkan kamu bubur dulu, sekarang kamu ditemani David ya!” ibu pergi meninggalkan kamar.

"Kamu kenapa bisa kayak gini?”

“Aku mohon jangan tinggalin aku, aku memang belum bisa membalas cinta kamu, tapi aku udah nyaman dekat sama kamu. Beri aku kesempatan!”

David ikut merasa bersalah melihat keadaanku seperti ini, “Aku beri kamu kesempatan, kalo kamu enggak bisa cinta sama aku, aku rela kalau hubungan kita harus berakhir ”

Aku memeluk tubuh David, merasa telah kalah atas kebaikannya selama ini. David yang selalu mengerti tentang aku, namun mengapa perasaan tidak bisa berkata jujur. Belajar untuk mencintai, mungkin alasan yang harus aku lakukan, sebab aku tahu jarang ada laki-laki yang begitu.

“Makasih” aku bahagia mendengarnya, lalu memegang kepala yang pusing entah kenapa.

“Bentar lagi kamu makan lalu istirahat!” pintanya, membantu mengatur posisi untuk bersandar pada dinding.

“Suapin!”

Ibu berjalan menghampiri sambil membawa bubur dan teh hangat pada nampan. “David, tolong kamu suapi ayu. Ibu tinggal dulu!” ibu paham akan situasi ini, lebih memilih meninggalkan kami.

Aku tau apa yang ibu maksud dengan meningkatkan kami berdua, dengan harapan kami kembali lagi seperti dulu, dan bisa menyelesaikan permasalahan tanpa emosi, berbicara baik-baik adalah titik temu.

Kadang berbicara soal cinta itu rumit jika dijelaskan dan digambarkan, cinta itu sebuah rasa yang ada dalam hati. Untuk saling mencintai meski tidak disadari. Lewat luka cinta itu ada, tanpa luka itu bukan cinta.

Judul : Lewat Luka

#cerpen #romantis #cinta #ketulusan #nyaman #rindu #takutkehilangan #peduli #prosa #diksi #katakata #novel #cerlians #lianasari993

🤩 Sampai jumpa di cerpen berikutnya 🤩

lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Semburan Asmara Bertaut , Cerita Cinta Romantis "