Mencintai Sendiri, Cerita Cinta Penuh Luka
Cerpen Sedih Bikin Ikutan Nangis Terbaru
Cerlians - Sebening tirta telah menjadi dinding kaca, ketika titik fokus teralihkan mendapati, sebuah suasana yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Langkah kaki masih tertahan pada ambang pintu, begitu juga tubuh terasa mematung melihat mereka tengah asyik berbicara dalam keheningan ruang kelas.
Haruskah langkah kaki melanjutkan? Atau malah memilih untuk meninggalkan? Namun gejolak rasa terus mendidih dalam jiwa, layaknya ingin meloncat menggemakan keributan pada dunia.
Kehadiranku telah di sadari Tina, sahabat yang telah menjadi bagian dalam hidupku sejak awal menduduki sekolah dasar, “Rachel, sudah lama datang, kenapa enggak masuk?”
Namun benak masih sibuk dalam lamunan, berpikir yang bukan-bukan tentang mereka, ada rasa takut saat mengetahui kedekatan mereka tak bisa disebut hanya sekedar teman. Keduanya begitu hebat dalam menyembunyikan perasaan masing-masing, namun tak ada yang mengatakan cinta.
“Rachel!” panggil Tina meninggikan suara, “Jangan bengong pagi-pagi!”
Lalu panggilan terakhir berhasil menepis lamunan, “Eh. Maaf!” jawabku berjalan menghampiri, meski titik fokus telah tertuju pada Brian.
“Kenapa?” tanya Tina berpindah ke posisi duduk di sebelahku, “Ada masalah ya?”
“Enggak. Tumben berangkat pagi?” tanyaku mengalihkan perasaan yang ingin keluar, namun segera kucegah dengan ucapan basa-basi.
Lalu Tina melirik Brian sekilas, “Iya.” Lirikan penuh makna sengaja tersirat.
“Tadi gue jemput!” tambah Brian.
Jawaban itu seketika menampar keras jiwa, luka baru saja tercipta kini makin membara, lirikan yang diberikan Tina mendapat balas senyum tipis dari wajah Brian. Apa mereka jadian?
Salahkah diriku yang sudah tiga tahun ini memendam perasaan pada Brian, tanpa berkata pada Tina? Kenapa rasa luka begitu kuat, bahkan ingin kusudahi obrolan. Mungkin memilih pergi sebentar, adalah jalan terbaik untuk jiwa dan raga agar tak semakin terpukul oleh kenyataan.
Tina merasa heran melihatku tak seperti biasanya, “Mau ke mana?” menatap kepergian tanpa jawaban.
Sengaja terbiarkan beberapa pertanyaan tersarang dalam benaknya, karena semua jawaban memilih untuk terbungkam, jikalau benar luka ini sangat menyakitkan. Hingga ingin rasanya menyudahi, haruskah memilih cinta atau persahabatan?
Kenapa begitu sangat memusingkan dalam pilihan itu, saat cinta dalam pandangan beda, sulit sekali untuk memilih di antara keduanya. Dalam renungan mata terpejam pada hawa dingin, di mana keheningan tengah memihak padaku.
Membiarkan sebening tirta yang sedari tadi tertahan, kini terpecahkan hingga hembusan nafas tak beraturan. Seraya menatap kosong dinding berwarna putih berhias kaca berukuran cukup besar, tak lupa mengunci pintu kamar mandi untuk sementara.
Saat jiwa butuh kesendirian, layaknya ingin menepis segala gangguan yang akan menghadang. Mungkin saat ini sendiri jalan yang sengaja terpilih, menilik seberkas kisah Brian yang telah berhasil membuat jiwa bergerak untuk memulai cinta dalam diam.
Ternyata menyakitkan. Salahkah jika diriku telah mencintainya, hingga begitu kecewa menyaksikan sahabat sendiri dekat dengan pujaan hati? Kenapa harus Tina yang menjadi bagian dalam kisah percintaan, orang yang selama ini telah bersama dan akankah bisa tetap bersama?
Kebersamaan Membawa Luka Cukup Dalam, Kenapa?
Mengapa setiap kali cinta datang, selalu saja ada celah dalam perjalanan, entah akan mempertahankan cinta atau malah meninggalkan cinta. Dua pilihan yang sangat sulit terucapkan oleh kata maupun ribuan bahasa di dunia, saat semesta telah berencana, tak ada siapapun yang tahu.
Apa nanti aku bisa menerima kenyataan, bagiku cinta ini telah merubah bagian dalam hidupku, juga merubah sikap persahabatan dengan perlahan. Begitu besar kekuatan cinta, hingga ada kata rela dan tega dalam setiap langkah, tergantung mana yang dominan.
Hari demi hari terlewati dengan luka yang sulit terbilang, teringat setiap kali kebersamaan mereka di kelas, terasa cemburu saat menyaksikan pandangan. Sakit, ingin rasanya merasakan hal yang sama, tapi apa bisa?
Tatapan Brian pada Tina berbeda dengan tatapannya padaku, sampai kapan harus bertahan dan menunggu?
“Chel, nanti sore aku sama Brian mau kerja kelompok, kamu ikut ya!” Pinta Tina menoleh cukup lama menanti Jawaban yang belum pasti.
Jika aku menerima ajakan, semakin sakit hatiku nanti. Tak kuasa lagi melihat gambaran dan obrolan yang akan terangkai menjadi sebuah kenyamanan, dan akan terus bertambah luka untuk kesekian. Akankah semua ini kan mudah berlalu, sebelum aku semakin patah hati, semakin memilih untuk menyudahi.
“Nanti sore.... Nanti sore kayaknya aku enggak bisa ikutan, mau antar mama ketemu sama teman arisan, kalian kerja kelompok berdua saja” jawabku berbohong.
“Tumben ikutan, biasanya malas?”
“Kan tahu sendiri, mama enggak bisa kendarai mobil, papa juga kerja ke luar kota. Lain kali saja ya?”
“Oke deh kalau gitu. Nanti waktu pulang sekolah aku bareng sama Brian, jadi enggak nebeng buat hari ini, tapi besok nebeng!” katanya sambil tersenyum kecil
“Oke. Santai saja, kalau bisa jawaban kirim lewat chat ya!” candaku terlihat biasa, tapi dalam hati menahan kesedihan.
“Lho kebiasaan, Chel!” sahut Brian sambil tertawa, “Kalau lho minta jawaban, jangan lupa kirim makanan”
“Yang benar saja, masa ambil makanan di acara orang, malulah!” jawabku ikut tertawa bersama.
“Ya, jangan ngomong sama yang punya, langsung masukkan dalam tas, aman”
“Yan, lho kalau kasih ide yang benar. Enggak ah!” tolakku paham kebiasaan Brian suka bercanda ngawur.
Pandangan teralih mendapati Tina beranjak sembari mengambil ponsel di meja, “Mau ke mana, Na?”
“Ke kantin bentar beli minum, mau titip enggak, sekalian?” tawar Tina masih menunggu.
“Boleh, apa ya? Jus mangga saja sama sosis bakar pedas” ucapku mengambil uang, lalu memberikan padanya sebelum akhirnya bayangan telah memudar.
“Chel, nanti kalau ada guru bangunin gue!” ucap Brian menggunakan tangan sebagai bantalan kepala.
Kini begitu dekat aku bisa melihat setengah wajahnya pada meja milikku, andai milikku! Batinku bergumam menatap dalam kebisuan, waktu di mana tak akan kusiakan bisa lebih dekat, meski hanya sekedar memandang dalam diam.
Namun, setiap kali waktu memberikan jeda untuk bersama, kenapa terlintas alasan untuk menutup obrolan. Mungkinkah dirinya sedang menjaga perasaan atau malah memang tak menginginkan aku bercakap dengannya, jika memang benar, kan kupilih untuk tetap diam.
Walau itu sangat menyakitkan, selama ini Brian memiliki kebiasaan mengalihkan keadaan, hingga tak ada celah untukku bisa mendekati hatinya. Apa kehadiranku hanya sebagai pengganggu, tapi semua nampak biasa. Jika terus begini, apa harus menyerah pada keadaan?
Ucapan Itu Telah Menyayat Relung Hatiku
Semakin berusaha untuk mendekati, semakin besar kemungkinan untuk tak memiliki, jiwa kembali merasakan ketakutan untuk kehilangan. Walau hati ini selalu tersakiti, teruskah bagiku tetap menunggu perasaan yang tak akan pernah berpihak denganku.
Aku selalu ada di dekatnya, sampai kapan hadirku bagaikan bayangan laju, karena tak ada sedikitpun perasaan yang diberikan padaku. Teringat setiap kali kenyamanan yang selalu diberikan pada Tina, dan tak akan bisa kudapatkan.
Bisakah dirinya mendengarkan isi hatiku, hanya saja tak akan pernah bisa, hanya satu yang selalu terpinta dalam diam. Tapi itu hanya sekedar kiasan, aku hanya bisa menahan untuk kesekian lama, karena selama ini cara diam memang terbaik.
“Chel!” panggil Brian telah terbangun dari tidur nyenyak, “Tina mana?”
Bahkan usai tertidur masih saja memikirkan sesuatu yang tak ada di sampingnya, lalu untuk apa hadirku sejak tadi di sini?
“Lagi panggilan ketua kelas” jelasku menghembuskan nafas perlahan
“Gue selama ini suka.... Gue suka sama Tina, menurut lho gue bakal diterima apa enggak? Lho kan sahabat Tina, pasti tahu siapa yang sekarang sedang dekat sama dia?”
Seketika kehancuran jiwa tengah memuncak dalam keterlukaan yang teramat dalam, pasalnya harus menghadapi kenyataan pahit, saat jiwa masih belum siap mengemban untuk tetap tegar dalam setiap keadaan.
Masih tetap berhasil sebening tirta untuk tertahankan, memilih menunduk dengan harapan bisa mengatur nafas dengan baik, namun nyatanya sama saja.
“Enggak tahu, tanya saja sendiri!”
Kataku beranjak dari bangku meninggalkannya yang belum usai bertanya, jika aku masih tetap tertahan, mungkin air mata telah menetes di hadapannya. Ternyata mencintai sendiri bukanlah hal mudah, saat harus menerima jika harapan tak akan sama seperti khayalan.
The End
Judul : Mencintai Sendiri (pernah dibukukan antalogi)
Titimangsa : Jawa Timur, 2 Desember 2021
Post a Comment for "Mencintai Sendiri, Cerita Cinta Penuh Luka"