Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Haruskah Aku Menerima Perjodohan Yang Telah Diputuskan Orang Tuaku?



Cerpen - Telah lama kaki tak menginjak tanah kelahiran pada sebuah kampung halaman penuh kenangan, di mana kini aku putuskan untuk pulang sebab panggilan rindu telah terdengar kata lembut bersama tangisan penuh harapan. Ibu, adalah alasan kepulanganku setelah tujuh tahun merantau.

Sebab dulu pernah berjanji pulang jika bisa sukses dengan jerih payah sendiri, walau aku tahu kedua orang tuaku terbilang serba kecukupan. Tersebab akulah anak laki-laki pertama yang kelak akan menjadi contoh adik-adik, hingga harus memutuskan merantau sejak lulus kuliah. Bahkan aku juga melanjutkan kuliah juga saat di perantauan.

Semua tampak masih sama hanya saja cipratan cat dinding merata menambah kesan sebelumnya, terhenti sudah mobil berwarna hitam pada pelataran luas sejak memasuki halaman depan rumah. Telah terdengar suara pintu terbuka, dialah ibu dengan senyuman hangat yang telah lama menjadi kerinduan.

“Assalamualaikum, Bu!” kuraih tangan wanita berusia empat puluh lima tahun dengan kecupan hangat mendarat tepat pada punggung tangan, terselip doa yang telah menjadi kesuksesan, cinta dan kebahagiaan.

“Waalaikumsalam” ucapan terjeda sejak derai air mata menetes, “Ibu senang kamu bisa datang. Ibu merindukanmu”

“Galih juga rindu sama ibu. Ibu apa kabar? Ayah di mana?” mengikuti langkah kaki memasuki rumah dengan desain lama namun tetap terlihat cantik bersama sentuhan barang-barang antik milik keluarga turun temurun.

“Kabar ibu sama ayah baik. Sekarang kamu istirahat dulu, nanti kita makan malam bersama, ada sesuatu yang mau ibu bicarakan” berjalan mengantar ke kamar yang telah lama tak ditempati, namun masih tetap dibersihkan hingga sekarang.

Siapakah Wanita Yang Akan Menjadi Istriku?

Gemercik air terdengar pada bak penampungan di dalam kamar mandi yang masih menjadi satuan dari kamar tidur, tanpa ragu butiran air masih menyisakan keberadaan pada tubuh, walau perlahan-lahan menetes sebelum akhirnya menyeka menggunakan handuk putih. Handuk yang kini telah melingkar pada pinggang sebagai penutup tubuh bagian bawah, lain dengan bagian dada masih terlihat bentuk menarik hasil dari rajin berolahraga.

Pakaian masih di dalam koper sejak aku memutuskan untuk tidur dari pada meletakkan di lemari, kini aku mengambil celana pendek selutut dengan kaos putih. Obrolan di ruang keluarga sudah tampak gaduh dengan dua adikku yang masih duduk di bangku kuliah dan SMA.

“Mas Galih” panggil Lala berlari menghampiri, “Lala kangen banget”

“Mas Galih juga kangen sama kamu, kita makan dulu nanti disambung ngobrolnya” aku berjalan menghampiri ayah lebih dulu untuk melepaskan kerinduan.

“Assalamualaikum. Gimana kabar ayah?”

“Alhamdulillah. Ayo makan pasti kamu sudah kangen sama masakan ibumu”

Selepas makan tampak suasana lebih tenang dari sebelumnya, hanya memperlihatkan Lala tengah membereskan meja makanan dibantu anak terakhir bernama Mala. Hingga obrolan yang penting akan segera dibahas malam ini, aku hanya terdiam sembari memperhatikan wajah ibu mulai menua.

“Galih. Ayah sama ibu sudah membicarakan tentang perjodohanmu, tinggal kamu mau atau tidak. Kalau kamu mau besok kita akan melangsungkan lamaran pada pihak mempelai wanita, ibu sama ayah enggak pernah memaksa semua keputusan ada di kamu”

“Pikirkan matang-matang sebelum memutuskan, ibu sama ayah mau keluar ada keperluan.” Beranjak dari tempat duduk sembari mengambil kunci mobil pada gantungan di dinding dekat tempat makan.

“Mas Galih sudah punya pacar apa belum?” Mala mulai serius menatap kakak pertama begitu juga Lala sudah lebih dulu memperhatikan sambil makan camilan.

“Belum. Mas kan sibuk kerja mana sempat memikirkan punya pacar, selama ini cuma fokus kerja”

“Mas Galih masih ingat sama mbak Rossa, teman kecil mas itu. Dia bakal dijodohkan, Mas Galih mau?” penjelasan Mala sontak membuatku melotot dalam sekejap, telah lama aku melupakan teman masa kecil namun sekarang malah mendapat kabar perjodohan dengannya.

“Mau” jawaban itu sontak membuat Lala dan Mala melongo melihat wajahku begitu mantap saat menjawab kalau menerima perjodohan.

Mungkin banyak yang tak percaya kalau aku menerima perjodohan ini, walau belum mengetahui seperti apa wajah Rossa. Namun dengan penuh keyakinan dan niat yang baik, keputusan itu tak akan pernah salah. Aku dan Rossa telah berteman sejak masih kecil, namun sejak dirinya lulus SMP dan pindah ke pesantren tak bertemu lagi hingga sekarang.

***

Sambutan hangat ketika kami sekeluarga mulai menginjakkan kaki memasuki ruang tamu, hanya ada keluarga besar telah duduk rapi menerima kehadiran mempelai pria. Namun aku tak tahu yang mana akan menjadi calon istriku, sebab di sini juga terdapat beberapa wanita masih muda.

Mulailah obrolan untuk memberikan mengenai perjodohan, sudah pasti hanya orang tua yang akan bersuara membahas. Acara pernikahan akan diselenggarakan satu bulan lagi dari sekarang, apalagi persiapan telah dilakukan jauh-jauh hari, entah apa yang membuat dua pihak keluarga begitu yakin jika keduanya menerima perjodohan. Bahkan aku saja baru mengatakan menerima tadi pagi, tapi keputusan itu seperti sudah diketahui lebih awal.

“Galih, sebelumnya saya ingin mengucapkan pesan dari Rossa untuk meminta maaf kalau sekarang dia belum siap menemuimu. Katanya nanti saja saat ijab kabul...”

Sejenak aku langsung mengerutkan kening sebagai tanda tanya mengenai penjelasan barusan, lalu bagaimana bisa mengetahui wajahnya jika diizinkan melihat tepat pelaksanaan ijab kabul, sama halnya kalau tidak tertarik harus menerima karena sudah sah menjadi suami-istri.

Namun dengan mantap aku menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan, sedangkan yang lain hanya melihat dengan heran. Mungkin banyak dari mereka tiba-tiba heran, apalagi menerima persyaratan yang tak biasa terjadi dalam perjodohan. Entah mengapa keyakinanku begitu kuat akan setiap keputusan yang telah diambil.

Pernikahan Telah Direncanakan

Ijab kabul dilaksanakan pagi hari, hanya sedikit keluar yang menyaksikan acara sebab berlangsung di sebuah masjid tidak jauh dari rumah mempelai wanita. Begitu sulit menjelaskan apa yang sedang kurasakan, saat memutuskan menerima pernikahan tanpa tahu tentang mempelai wanita, bahkan tak ada satu fotopun miliknya yang bisa kulihat.

Kehadiran penghulu telah siap untuk melakukan proses selanjutnya yaitu menyatukan dua insan ciptaan Tuhan, yang akan saling memutuskan untuk menyempurnakan separuh ibadah dalam ikatan pernikahan. Proses sakral dalam menjalani harus dengan niat cinta dan ketulusan, bukan hanya sekedar ucapan semata.

Tersebab saat ijab kabul diucapkan maka, akulah yang akan bertanggung jawab atas apa yang telah ditanggung seorang ayah beralih pada suami. Maka akan kupastikan memperlakukan seorang istri dengan baik dan membuatnya bahagia.

“Bagaimana para saksi sah...”

“Sah” serentak diikuti doa yang dipanjatkan oleh penghulu, datanglah seorang wanita cantik mengenakan kebaya putih namun berjalan dengan mata menunduk melihat karpet masjid.

Betapa terkejutnya diriku melihat wanita yang kini telah menjadi istriku, begitu cantik parah hingga pancaran aura dari dalam tubuhnya berhasil membuat pandangan langsung tercengang diikuti kecanggungan. Rossa berjalan mendekat lalu duduk berdampingan saling berhadapan.

Uluran tangan darinya telah lebih dulu mengambil ketegangan hingga detak jantung terus berdebar kencang, embusan nafas untuk meredakan suasana gejolak hati sebelum aku mengulurkan tangan padanya. Aku tak bisa menjelaskan dengan kata-kata mengenai situasiku saat ini, sebab baru pertama kali tanganku dikecup begitu lembut.

Memang sulit untuk menyembuhkan rasa cangkung, bahkan saat mengecup kening pun aku memutuskan untuk menutup mata sejenak sambil mengucapkan rasa syukur atas apa yang telah Tuhan berikan. Mengenai pasangan yang sama sekali tak dapat dipercaya bisa bertemu dalam suasana hangat hari ini.

“Mas Galih kenapa, tumbuh mas gemetar aku ambilkan minum ya?” ucapan Rossa begitu lembut memasuki daun telinga hingga jantung urung untuk menyudahi debaran.

Namun Lala suda tahu lebih awal jika kondisi kakak laki-lakinya sedang dalam masa canggung, “Mbak Rossa ini aku sudah bawakan”

“Makasih, Lala!” jawab Rossa mengambil Gelas berisi minuman yang sudah ada di dekat pilar dalam masjid untuk tamu.

Rossa memberikan minum sembari menampilkan senyuman manis dari bibirnya, “Mas!”

“Iya, makasih”

Acara resepsi akan diselenggarakan halaman sekitar masjid dengan waktu yang sama, sudah pasti hari ini akan sibuk berbagai macam kegiatan mulai dari sesi foto dan menjamu para tamu. Aduhai berdetak tak karuan terus-menerus berada di sampingnya, baru pertama kali merasakan canggung begitu kuat ketika bersamanya. Padahal wanita-wanita lain tak pernah merasakan perasaan ini, apa ini yang disebut cinta dari Tuhan?

Judul : Cinta Dari Tuhan

Penulis : lianasari993

Titimangsa : Malang 6 Juni 2022

lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Haruskah Aku Menerima Perjodohan Yang Telah Diputuskan Orang Tuaku?"