Diorama Dibalik Benteng Vredeburg, Selaras Yang Bertepi. Episode 21, Novel Remaja Romantis
Novel What Really Is Our Relationship Terbaru
Ketika masuk sudah disambut dengan halaman luas nan bersih, pohon di sini akan mengambil perhatian. Didominasi warna putih membuat bangunan tampak menarik, selain itu memang hari biasa terutama pagi masih sepi. Karena kesepakatan yang diberikan kepala sekolah, setelah datang ke sini harus kembali belajar lagi di sekolah.
“Selamat pagi”
“Selamat pagi, pak”
“Karena waktu yang diberikan tidak banyak, jadi kalian mendapat tugas, untuk membuat rangkuman mengenai apa yang ada di sini. Jadi bapak harap untuk fokus, jangan ada yang sibuk berfoto maupun ngobrol sendiri, kalau sibuk sendiri, kita urungkan tugas ini dan kembali ke sekolah.”
“Iya pak”
Jembatan sebagai penghubung benteng, terdapat sungai pada bagian bawahnya, entah itu sungai buatan atau bukan!
Ketika memasuki benteng, akan di suguhkan oleh lorong pendek yang menampilkan gambar apa yang ada di depan. Pada kedua sisi ada jalan menuju arah lain, tetapi kali ini guru pengajar mata pelajaran sejarah mengajak lurus lebih dulu.
Terdapat beberapa patung, Tugu Yogyakarta mini. Empasan angin sejuk terasa menyenangkan, sepanjang perjalanan pohon tumbuh dengan subur, pada sekeliling jalan terdapat bangunan.
Pada akhir benteng terdapat lorong tengah, kedua sisi diapit oleh anak tangga saling berhubungan. Dari sinilah dapat melihat halaman yang baru saja dilalui, luas bukan!
Masuk ruang Diorama 1. Pada bagian ruangan akan menceritakan lewat alur susunan yang dapat dilihat mulai angka 01 hingga seterusnya, pada kedua sisi. Di museum terdapat ruang Diorama 4.
“Amati dengan teliti, rangkuman yang kalian buat harus bagus, karena pelajaran sejarah kali ini langsung ke tempatnya”
“Iya pak”
‘Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’, semboyan Ki Hajar Dewantara tertulis dalam bahasa Jawa. Diartikan bahwa seorang guru atau pendidik harus menjadi panutan atau memberikan contoh.
Pada Diorama 2 yang berada di seberang jalan, namun masih tetap berada di halaman yang sama, ketika mengarah ke sana. Disambut oleh patung yang mengenakan pakaian ada Jawa, Terdapat Presiden RI pertama.
“Siapa yang menjahit bendera merah putih?” guru sejak mengatakan dengan amat antusias.
“Ibu Fatmawati...” jawab serentak.
“Pak, kita ini bukan anak SD loh...” ucap Rendra merubah suasana hening menjadi tawa.
“Kita datang ke sini itu untuk belajar sejarah, jadi enggak pa-pa” dijawab dengan santai, lalu melihat mesin ketik sejenak.
Diorama 3 terdapat beberapa barang peninggalan pada masa itu, ada juga mata uang yang ditata rapi pada pajangan kaca. Selain itu, wahana digital relief Jogja kembali. Cat dinding berwarna hitam, untuk menampilkan informasi.
Saat keluar menuju Diorama 4 ada beberapa patung setengah badan dari pahlawan pada masa itu, tidak lupa peta cukup besar, miniatur dari Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Diorama akhir melanjutkan alur yang sama hingga Presiden Suharto, jalan cerita yang begitu lengkap dengan miniatur di dalamnya, akan memudahkan dalam memahami.
***
Kegaduhan, itu yang tengah menggambarkan suasana malam ini, pada sebuah ruang keluarga apa pantas disebut ruang keluarga?
Suara obrolan pada layar televisi juga ikut andil untuk meramaikan kemeriahan atau malah kemarahan, begitulah hampir setiap hari terjadi, apa tidak lelah dengan semua pertikaian tanpa ujung?
Permasalahan kecil atau bahkan permasalahan besar, akan menjadi permasalahan panjang. Padahal umur sudah melebihi kata dewasa, tetapi sama sekali tidak mencerminkan sikap dewasa.
“Aku capek terus-terusan kasih tahu, harusnya kamu sadar kalau tadi harus pulang cepat, kenapa malah pulang malam...!” emosi Mama Bella.
“Aku lupa soal acara itu, dari pagi sampai malam aku sibuk kerja. Harusnya kamu ngerti bukan marah-marah enggak jelas, aku lakukan semua ini buat keluarga kita, enggak lebih dari itu. Aku pulang kerja bukannya disuguhi makan, malah diajak debat enggak berguna....” Ayah Ferry tidak mau kalah emosi, posisi dasi sudah longgar dari kerah kemeja sedangkan jas hitam tergeletak di senderan sofa.
“Alah, paling itu alasan kamu supaya enggak datangkan. Ini bukan yang pertama kalinya, kamu selalu kasih alasan jika diundang makan malam di rumah mbak Tami. Senggaknya bilang sejak awal biar aku berangkat sendiri, bukan malah nunggu berjam-jam di rumah....”
“Kamu itu ya....”
Ucapan Ayah Ferry berhenti saat tangan kanan sudah melayang lebih tinggi dari kepala, tinggal menunggu mendarat pada pipi, karena sudah capek berkelahi terus. Tetapi bukankah setiap berkelahi Ayah Ferry selalu menampar hingga menimbulkan bekas merah, kalau tidak begitu melempar apapun yang ada di dekatnya.
“Tampar, yang keras sekalian biar kamu puas!”
Embusan nafas tengah terjadi pada Elin, dengan menampakkan wajah ketakutan teramat dalam. Setiap kali harus melihat perkelahian kedua orang tuanya, mendengar caci maki, barang terlempar hingga suara tangisan usai perkelahian.
Elin hanya bisa meringkuk dalam kamar menyembunyikan tangis, sebegitu takut harus melihat kekerasan dalam rumah tangga yang sudah lama disembunyikan.
Wajah keceriaan hanya berlaku di luar rumah, untuk menyembunyikan berbagai macam luka yang selalu didapat atas ucapan dari dalam rumah, Elin tidak pernah berhenti ketakutan, malah seperti ada sesuatu lara sulit sembuh.
Tidak ada seorangpun yang tahu tentang permasalahan ini selain Rendra, “Kenapa mereka selalu ribut terus, Rendra gue butuh elo!”
Keributan belum berhenti, hingga bersembunyi dibalik selimut dengan harapan akan segera meredam. Tetapi butiran bening tidak henti-hentinya menetes membasahi pipi, hanya memeluk guling sambil menunggu terlelap dengan sendirinya. Teramat lelah keadaan yang selalu dilihat orang luaran sana, beranggapan keluarga bahagia, nyatanya semua hanya kebohongan.
Teramat jelas tamparan keras dapat terdengar hingga melewati dinding kamar, “Jadi istri enggak ada hormat-hormatnya sama suami, mau jadi apa kamu?”
“Hormat? Apa pantas suami kasar kayak kamu dihormati. Sebelum suruh aku hormat pikir dulu, kalau mau tampar lagi silahkan, pipi kiri masih belum merah!” dinding berkaca pada kelopak netra memilih untuk bertahan agar tidak berderai, teramat sakit ketika harus mendapat tamparan dari suami, yang dulu sangat dicintai.
Dan benar, tamparan sekali lagi mendarat pada pipi sebelah kiri, “Itu kan yang kamu mau!”
Setelah mengatakan itu Ayah Ferry memilih untuk segera pergi dari ruang keluarga. Menuju anak tangga yang terletak hanya beberapa langkah kaki, di mana kamar yang pernah ditinggali bersama, kini keduanya memilih untuk memiliki kamar sendiri-sendiri.
Guci pada sudut tangga sengaja dicampakkan dengan kasar oleh tangan kiri, hingga mengeluarkan bunyi pecah tanpa bentuk, begitulah jika keributan terjadi apapun depan mata berubah kehancuran. Lantas barang apa lagi yang belum dihancurkan?
Judul : Selaras Yang Bertepi
Karya : lianasari993
Post a Comment for "Diorama Dibalik Benteng Vredeburg, Selaras Yang Bertepi. Episode 21, Novel Remaja Romantis "