Era Friendzone, Selaras Yang Bertepi. Episode 48, Novel Remaja Romantis
What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi
Fokus pada tujuan utama memutuskan datang pertama kali ke sini, untuk belajar sebagai jalan mengejar cita-cita bukan hanya perihal cinta. Dahulu bercerita tentang perjalanan kisah baru, berbincang pada setiap sudut waktu. Tetapi tidak menyangka, bahwa waktu meminta untuk tunggu, ada pada ambang kebingungan.
Merayu semesta untuk bekerjasama nyatanya malah tidak bisa, terpancar doa melambung ke langit di atas sana. Hanya saja takdir sedang tidak bilang ‘Iya’.
Rendra masih bersahabat dengan Elin, hanya saja keadaan sudah berbeda setelah perasaan itu terucap. Ingin memulai obrolan harus dipikir dulu, canggung saat duduk berdekatan. Suasana macam apa ini?
Setiap siswa duduk saling berjarak, tanda ujian sudah dimulai. Hening sesaat, meski ada saja bisik-bisik saling bertukar jawaban. Guru penjaga ujian menyadari, tetap saja teguran bukan menjadi tanda tahu diri.
Dingin kipas angin itu sedikit membantu pikiran yang panas ini demi memecah jawaban, materi dari guru hanya sebagian mirip dengan soal ujian, selebihnya ya begitulah.
“Fokus sama soal-soal masing-masing, jangan anggap saya tidak tahu apa yang kalian lakukan” ucap guru penjaga ujian tetap fokus pada buku di hadapannya.
Teguran itu hanya sekejap mengheningkan ruangan, selebihnya masih saja ada yang berusaha mencari contekan. Detik jarum jam berputar tanpa bilang, detak jantung kian semakin berdenyut, bagaimana bisa waktu berjalan begitu cepat.
Menggaruk-garuk kepala bukan solusi, tengok kanan-kiri tanpa henti. Ah, masa depan nilai diputuskan oleh habis ujian.
Bahkan suara perut pun bisa didengar, tawa satu kelas memecah keheningan. “Fokus kerjakan, manfaatkan waktu dengan baik”
Lembaran kertas kosong perlahan penuh coretan, mencari jawaban yang bisa dibilang merepot.
“Gha, nyontek dong” Rendra mulai berbicara setelah memutuskan untuk menyudahi coretan pada kertas yang hampir habis itu, “Gha...Gha...”
Kertas kecil mulai terisi jawaban, sebelum akhirnya dioper kearah tujuan, “Noh”
“Thanks” Rendra menyalin jawaban dengan cepat, hingga membuat Elin yang sibuk mengerjakan meliriknya sinis, namun Rendra hanya memberi ekspresi angkat alis kanannya.
Segala perasaan bercampur aduk, takut jika nilai di luar ekspektasi. Rendra takut jika rencana kuliah di Surabaya gagal, sebab ada impian yang diubah dadakan.
Jiwa yang telah disatukan untuk mimpi berusaha membebaskan raga dari bui. Tidak terasa pilu harus melepas dari dongeng dahulu, resah ini hanya akan membuat jiwa takut untuk beradu maju. Semalam lembaran kertas terbaca, diamati juga dipahami. Anak muda sedang berjuang demi cita-cita, berharap tuhan mengiringi setiap perjalanan.
Setiap langkah kaki berpijak pada pelataran tempat menuntut ilmu, segala doa terpanjat dari tahun ke tahun. Berharap akan mengubah segala kebaikan, jiwa muda saling mendoakan, amin.
***
Langkah kaki menuruni tangga, sejenak terhenti ketika seseorang menatap dari kejauhan. Benar, Darian kini berdiri tepat di teras kelasnya. Memandang Elin yang selalu berusaha menjauhi, bahkan sekarangpun seakan orang asing yang tidak saling mengenal. Sesak dada ini tidak akan pernah bisa berbohong, Elin masih bimbang dengan perasaannya sendiri, pada sisi lain Rendra berjalan di sebelahnya. Darian yang tadinya ingin mendekat, memilih untuk berjalan ke arah lain menuju kantin.
“Ren, ayo keburu baksonya habis” Elin memegang lengan baju milik Rendra, agar mempercepat jalannya.
“Enggak jadi beli ayam geprek?”
“Enggak selera” jawab Elin sewot, bagaimana bisa makan ayam geprek di kantin, apalagi dulu setiap makan itu selalu sama Darian.
Benci banget, kenapa harus berakhir begini! Sejauh apapun berusaha lari dari perasaan mengganggu ini, tetap saja pasti akan bertemu entah dengan orangnya atau kenangan pernah bersama.
Ternyata benar, semakin membenci semesta malah mempertemukan kembali, jika saling mengikhlaskan sementa perlahan akan memberi ketenangan. Hanya saja, bukan hal mudah bagi Elin untuk menjauh, terutama posisi sekarang masih sekolah di tempat yang sama.
Rendra melirik raga yang sekarang duduk di hadapannya dengan pikiran yang entah berada di mana. Paham apa yang sedang terjadi, itu sebabnya Rendra masih ragu tentang perkataan Elin waktu kala lalu. Berbincang kalau mencintai, tetapi sanubari belum menyakini, sedangkan ekspresi tidak bisa membohongi.
Pesona wajah sulit untuk berbohong terutama dalam urusan cinta, tatap lebih lama lalu rasakan. Rendra masih terjaga pada perasaan yang sama, sial cinta itu meracuni pikiran.
“Capek ya?” ucap Rendra ketika tahu Elin sudah menatapnya.
“Cepek? Kamu cuma makan bakso...!”
Rendra tersenyum menghembuskan nafas, “Bukan itu, tapi perasaan elo...”
“Ha..???” mengerutkan kening bingung ucapan Rendra, “Apanya??”
“Ya sudah...ya sudah, lanjut makan”
Ramai, kantin tidak seperti hari biasanya. Masih bisa dibilang lalu-lalang siswa memilih untuk belajar sambil makan, beberapa berada di atas meja dibuka perhalaman atau sekedar jadi pajangan. Sharing tentang soal yang tadi membingungkan bagi mereka.
Pandangan beralih sejenak, rasa tenang kian semakin kacau tiba-tiba Darian datang dengan beberapa temannya, mengalihkan pangdangan untuk membeli nasi goreng.
Tidak nyaman, berada di tempat yang sama, tapi perasaan sudah tidak lagi serupa. Elin sedikit menyimpan cinta, namun masih bingung berapa persen dari perasaan yang lama. Keisha datang bersama satu teman sejurusan, berjalan menuju gerobak nasi goreng.
“Kei....” tegur Darian tampak sumringah setelah tadi melihat Elin sedang makan dengan Rendra, “Tumben berdua saja?”
“Yang lain beli online, jadi makan di kelas. Ini antrian masih banyak, gue sudah lapar lagi!” mengelus perut yang sedari tadi keroncongan.
“Elo ambil punya gue saja, bentar lagi giliran gue itu” menunjukkan abang nasi goreng meletakkan pada piring.
“Yakin, elo enggak papa nunggu?” Keisha melihat teman yang ada di sebelahnya sudah membawa semangkuk bakso dengan kuah masih panas.
“Iya, duluan saja”
“Makasih, ya. Gue makan dulu!”
Darian mengangguk dengan hati yang berdetak, berharap suatu saat bisa dekat lebih dari teman satu kelas. Jika memberanikan diri untuk menyatakan cinta, mungkin posisi Ghazi sudah ditempati sejak awal, ternyata malah telat gara-gara rasa takut ditolak.
“Masih usaha, sudah tahu punya orang enggak tau malu” sewot Rendra yang memperhatikan dari kejauhan, “Kalau gue sih malu”
“Siapa sih, Ren?” Elin yang sedari tadi sibuk sama bakso yang super pedasnya, tanpa sadar menghasilkan banyak krupuk.
“Siapa lagi kalau bukan mantan elo....” mengambil kerupuk dari tangan Elin, “Kok bisa elo suka sama dia”
“Bisalah. Suka sama elo saja sudah bisa banget” jawab Elin enteng
Rendra batuk tersedak krupuk, diambil botol air mineral masih tersegel, batuk berkali-kali.
“Kali ini pulang bareng gue kan, enggak sama situ?” Rendra menggoda Elin yang sedang menyeruput minum.
Elin memanyunkan bibir ngambek, “Renn..dra...”
Rendra tersenyum puas, “Sudah putus beneran sekarang, enggak cemburu lagi lihat dia ngobrol sama yang lain...”
Elin melotot, “Ren, sudah cukup. Gue pergi nih dari sini...”
Melihat Elin beranjak, “Ikut”
“Gue mau ke toilet” mengambil ponsel yang sengaja diletakkan di meja sebelah minuman.
“Iya, ikut...”
Elin mengerutkan keningnya, menunggu kalimat selanjutnya tapi malah saling mengerutkan kening, “Ngapain, gue kan mau ke toilet jangan kayak anak kecil deh”
“Perut gue mules, jadi gue bareng ke arah toilet kan toiletnya sebelahan”
Elin baru sadar langsung tertawa, “Sumpah kok gue jadi lemot gini”
Rendra dan Elin tertawa berjalan keluar kantin.
***
Post a Comment for "Era Friendzone, Selaras Yang Bertepi. Episode 48, Novel Remaja Romantis "