Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Merayu Semesta, Selaras Yang Bertepi. Episode 49, Novel Remaja Romantis

What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi



Hari ini terasa berat, bukan tentang hasil ujian. Melainkan akhir pertemuan untuk menikmati senja di Jogja, terkesan berlebihan tetapi fakta dan hati menyepakatinya. Ternyata jatuh cinta sendirian itu melelahkan, namun lebih sakit ketika harus hidup jauh dari orang yang dicintai.

Semesta seakan memiliki rencana, memberi jarak untuk memastikan apakah rasa masih tetap sama atau perlahan akan pudar. Tapi, Rendra takut seandainya perasaan ini harus pudar oleh jarak. Sejatinya perasaan yang pudarpun, jika teringat sejenak, akan memancing memori lama untuk diputar kembali di waktu yang sekarang.

Menyakitkan, bukankah alur semesta begitu. Tidak ada seratus persen memori hilang begitu saja, apalagi seseorang itu pernah mengisi ruang pada raga dan jiwa. Cemburu, marah, sakit hati mau bagaimana lagi. Semua pasti terjadi, pilihan hanya satu, menyelesaikan masalalu atau membuka lembaran baru.

“Ren, kalau elo jadi pergi. Gue sama siapa ke sini? Lihat senja sambil cerita random kayak gini. Gue egois ya, ngomong gitu ke elo?” Elin yang duduk bersebelahan pada bangku terbuat dari besi, mengarah ke barat.

Rendra memeluk bahu Elin, membiarkan bersandar di bahunya, “Enggak, Lin. Hari ini gue lebih bahagia kita kayak gini. Bukan karena gue mau pergi jauh, tapi karena gue lega bisa jujur, kalau gue sayang banget sama elo.....”

“Tapi bukan ini yang gue mau, Ren”

Rendra menyeruput kopi, memilih diam beberapa saat. Sesak di dada benar-benar mengganggu, bahkan mata yang mulai berkaca berusaha ditahan menatap ke langit.

Pada penghujung cinta yang masih tetap sama, tentang rindu belum bisa terobati. Rendra tidak benar-benar ingin kehilangan, kenapa dunia seakan tidak pernah perduli mengenai perasaan ini, cinta yang masih belum terbalas seutuhnya.

Ingin selalu tetap berada di samping Elin, berbincang hal sederhana hingga lupa waktu malam. Merasakan pelukan erat yang selama ini hanya tersimpan rapi dalam benak, apakah itu alasan semesta tidak memberi izin untuk bersama. Jika memang benar, lalu untuk apa rasa cinta dibangun semegah hingga sulit untuk merobohkan.

Senja terpuruk goresan luka, pada lara yang harus direlakan dan akhirnya saling mendiamkan. Satu hal sudah tentu pasti, bertemu bukan tentang rindu yang telah disatukan, hanya saja takdir enggan berkomentar.

Hamparan senja telah berpamit, bersamaan udara dingin Jogja mulai terasa. Bohlam berwarna kuning menghiasi sekeliling,juga memberi rasa hangat. Tiba-tiba suara gelas pecah menghapus kesunyian, menatap sudut suara tanpa bereaksi apapun.

Lalu kembali menatap arah depan, tempat ini terasa berbeda dari waktu sebelumnya. Canda tawa seakan menghilang tanpa berbincang, menyisakan suara manusia dengan segala macam, begitu juga musik ikut andil meramaikan.

“Ren, kita masih bisa enggak sering bareng kayak gini? Apa lagi elo bakal pergi tinggalin gue di sini...” ucap Elin menatap sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke arah samping.

“Bisa kok, tapi enggak sesering dulu. Lin, gue tahu ini enggak mudah, apalagi dari dulu kita sering bareng. Gue harap elo bisa jadi lebih mudah bahagia, jangan sering nangis tiap malam. Please, jangan bikin gue khawatir....”

Rendra menarik nafas memenangkan perasaannya, “Sering telepon gue, kirim pesan ke gue, meski gue enggak balas tepat waktu. Gue janji bakal selalu ada buat elo, karena gue sayang banget sama elo, Lin!”

“Disaat semuanya sudah jelas, kenapa keadaan malah kayak gini ya, Ren? Seandainya...”

 Rendra memotong ucapan Elin segera, “Semua berjalan semestinya, gue paham kenapa elo enggak bisa sadar soal perasaan gue sejak awal. Tapi sekarang persahabatan kita jauh lebih penting, please jangan pernah berubah”

Elin tersenyum sedih, menghela nafas untuk mengurungkan berbicara lagi. Mau bagaimana lagi, Rendra tetap akan pergi. Kedekatan dulu kini harus memberi jarak, untuk memastikan apakah rasa masih tetap sama.

“Apa gue ikut elo saja, Ren. Biar kita sering bareng terus, gue janji enggak bakal ngerepoti elo, sumpah” kata Elin meyakinkan dengan menunjukkan kedua jari telunjuk dan tengah secara bersamaan, “Please....”

Rendra melepas rangkulan, memegang bahu Elin dengan tatapan hangat, “Elo harus tetap di Jogja kejar impian dan jagain orang tua elo. Dan gue bakal jadiin elo alasan kenapa gue datang ke sini lagi, Jogja dengan ribuan kenangan kini....”

Elin langsung memeluk Rendra erat, ucapannya terasa menusuk hingga enggan membiarkan Rendra pergi, “Jangan lupain gue!”

Udara malam kini makin dingin, Rendra mengajak Elin segera pulang. Ketika tahu jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.45 menit. Perjalanan pulang terasa lebih cepat, Rendra hanya menggenggam tangan Elin yang memeluk pinggang, tidak ada obrolan menyisakan Elin tidur lelap.

Jaket milik Rendra mengajak dilingkarkan antara Elin dan dirinya demi keamanan. Tanpa sadar Setetes air mata berhasil keluar dari pertahanan, segera Rendra menghapus seraya tersenyum menghibur perasaan dan pikiran.

Entah momen ini akan datang kapan lagi, bisa dibilang ini terakhir sebelum pergi dari Jogja, semoga kelak akan ada masanya berada ditempat yang menjadi tujuan untuk kembali. Tentang tempat, rasa dan seseorang itu...

***

Hingga waktu telah tiba. Ujian, kelulusan dan perpisahan kini. Semua berjalan begitu cepat, kayak masih kemarin momen itu dilewati bersama. Saling mendiamkan sesaat hingga Rendra memilih untuk memulai obrolan.

Menarik nafas sejenak menenangkan sesak dadanya, “Makasih Lin. Sudah baik banget sama gue....”

Rendra menunduk sejenak, mengatur sisa rasa yang ada. Begitu berat berada di perpisahan, rasanya enggan untuk pergi dan ingin tetap berada disisinya. Hanya saja takdir semesta berkata lain, mengejar mimpi selagi masih muda dan kesempatan itu berpihak.

Elin tidak dapat lagi membendung air matanya, “Ren....”

Rendra mengangkat kepala, menatap seseorang yang sebentar lagi jarang ditemui, ternyata sesakit ini harus berpisah.

“Jangan nangis gitu, gue jadi ikutan sedih....”

“Gimana enggak nangis, elo pergi ninggalin gue sendirian” Elin menarik ingus yang ingin jatuh, “Gue enggak siap elo pergi, Ren. Kenapa harus secepat ini sih!”

“Lin, kita masih bisa komunikasi atau gue sesekali datang ke Jogja samperin elo. Kalau ada apa-apa langsung hubungi gue. Ghazi sama Farrel bakal sering samperin elo, gue sudah bilang ke mereka....”

“Tapi yang gue mau itu elo” terkesan egois tapi memang begitu, sulit bagi Elin harus berpisah. Bahkan perceraian orang tuanya tidak sesakit ini.

Rendra tiba-tiba memeluk elin, lalu berbisik serius, “Gue bahagia kita sering bareng, makasih buat semuanya. Gue sayang banget sama elo, jaga diri baik-baik ya!”

 Ucapan Rendra benar-benar menusuk relung hati dan raga. Elin memejamkan mata, memeluk tubuh Rendra semakin erat rasanya enggan untuk melepas.

Sepuluh menit berada di pelukan, hingga Elin sedikit lega untuk melepas. Bersama langkah kaki berjalan menghampiri, “Rendra, jadi berangkat sekarang?”

Rendra menahan air matanya, “Iya, Tante. Maaf selama ini sering ngerepotin, tante selama ada di sini....”

“Tante, enggak pernah ngerasa direpoti. Justru tante yang ngerepoti kamu, terima kasih sudah jaga Elin, jangan kapok ya!”

“Jaga diri baik-baik di tempat baru, sering kasih kabar”

“Pasti, tan” Rendra melirik Elin yang sedari tadi menyeka air matanya, “Sudah enggak usah nangis, kita pasti ketemu lagi”

Mobil jemputan online telah berhenti di depan teras, sopir membantu memasukan koper ke dalam bagasi. Diikuti Rendra memasuki mobil itu, “Gue pamit, Lin...”

Elin hanya diam menatap mobil yang membawa pergi Rendra dari hadapannya, tubuh terasa lemas hingga tidak kuat lagi berdiri. Hati terasa hancur, perpisahan secepat itu benar-benar ada. Kini hanya tersisa kenangan, entah kapan bisa bersama lagi, apakah kesempatan saling memiliki itu masih ada?

Elin menatap rumah yang telah kosong itu, “Ma, aku harus apa?....”

“Ayo masuk rumah dulu, kamu tenangin diri...” membantu berjalan ke arah rumah, “Mama paham apa yang kamu rasakan....”

Langkah kaki mengarah ke kamar, benar. Tangis ini semakin pecah pada ruang kosong nan sunyi. Memikirkan seseorang yang kini belum tentu hadir lebih lama, lupa bahwa takdir belum menginginkan bersama. Tetapi mengapa jiwa seakan tidak merelakan kepergian, berharap ini akan segera pulih seperti sediakala.

Semua bermulai dari hal paling sederhana, saling pergi bersama menikmati waktu, jika menyadari sejak awal apakah akhir cerita akan seperti ini?

Elin berlarut dalam ketidakpastian, perihal tanya yang tidak kunjung terjawab. Berbincang sendirian pada diri sendiri, membiarkan derai air mata membasahi ujung selimut yang didekap erat.

Tidak akan pernah bisa berusaha terlihat lebih kuat, lalu jika Rendra pergi siapa yang akan selalu ada di sisinya. Sekarang rasa nyaman itu telah berpamit pergi, Semua berlalu begitu saja.

Lampu-lampu perlahan memberi warna, mengusir cahaya mentari untuk beranjak pergi. Rasa lelah seakan ditelan waktu, sorot netra tidak akan sejelas tadi, sudah berapa lama menangis hingga berakhir tertidur lelap. Hari pertama memulai kehidupan tanpa sosok yang senantiasa hadir, hanya menyisakan kenangan-kenangan tanpa tahu kapan ada temu.

Pada pojok ruangan, ikan itu seperti pengganti pelukan selamat jalan atau hanya memberi sisa rindu dari pemilik yang lama. Menatapnya akan menjadi musim rindu, setidaknya dengan makhluk bernyawa itu, sosoknya terasa hadir lebih dekat.

Bodoh, jika tidak ingin menyuruh kembali.

Ketukan pintu membangunkan lamunan panjang, bersamaan pintu terbuka setelah hingga terdengar langkah kaki mendekat. Tidak berbincang hanya meletakkan secangkir teh hangat pada meja dekat meja, bersebelahan di mana ikan itu berada. Lalu tarikan kursi bersama pandangan menatap ke ranjang, menatap penuh rasa iba.

Elin mengerutkan kening sebelum embusan nafas panjang terdengar, “Ma, malam ini temani Elin ya!”

Tubuh beranjak mendekat ranjang, memeluk tubuh gadis kecil yang kini telah beranjak dewasa. Setetes air mata tidak bisa lagi membendung, “Mama, akan selalu ada buat kamu...”

Satu hal bagian terbaik dalam sebuah kehidupan, peran orang tua akan selalu diinginkan. Lantas mengapa tidak semua bisa merasakan?

Elin merasa perkara perpisahan dan kasih sayang dua hal dari perjalanan dunia. Begitu juga alam semesta membawa pada masa kini, perpisahan dengan Rendra dan kasih sayang sedang memeluk erat tubuh.

Tentang keberadaan, tentang arti kehilangan, benar-benar tidak tahu bagaimana lagi untuk mencari. Sebab sejak awal sudah tahu arah pergi.

Tubuh menyender sebelum menyeruput teh hangat, “Makasih, Ma”

Hanya senyuman. Saling mendiamkan dalam keheningan ruangan, menyisakan suara air dari dalam aquarium, cahaya lampu biru sedikit keputihan. Netra menatap ikan sejenak, sebelum meletakkan cangkir di sebelah tempat tidur, tandas tanpa sisa.

Mama beranjak meninggalkan ruangan tanpa berbicara, hanya suara pintu kembali tertutup rapat. Elin sadar bahwa ada air mata yang sengaja ditahan, rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan. Berakhir untuk dibungkam menjadi beban pikiran.

Sebuah notifikasi dari ponsel yang sengaja diletakkan dekat bantal, postingan terbaru dari Rendra. Kata yang sangat menyakiti, tertulis singkat ‘Selamat tinggal Jogja dengan segala kenangan yang ada’. Pemandangan senja kemarin yang sengaja diabadikan, ternyata malah menjadi kenangan terakhir.

The End 

Terima kasih 

lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Merayu Semesta, Selaras Yang Bertepi. Episode 49, Novel Remaja Romantis "