Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Ren, Jangan Pergi Lagi!, Selaras Yang Bertepi. Episode 47, Novel Remaja Romantis

 What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi



“Barusan, suara?” Elin teriak bahagia, bergegas menuju kamar mandi untuk gosok gigi dan cuci muka.

Tanpa menunggu mandi lebih dulu. Elin berlari tanpa mengenakan alas kaki ke rumah Rendra, berharap Rendra memang pulang sekarang. Pintu masih tertutup, hanya saja sepeda milik Rendra kembali diparkir depan rumah.

Dibuka pintu tersebut, “Ren... Ren...”

Rendra yang duduk di sofa ruang televisi beranjak, kini keduanya saling berhadapan, diam tanpa bicara. Beberapa detik suasana terasa sunyi, namun gejolak di dalam hati begitu kencang, setetes air mata mengalir dari pipi Elin.

“Ren” mengatur nafas, “Ren, jangan pergi lagi!”

“Gue enggak mau kehilangan elo, gue sayang sama elo. Jangan pergi tinggalin gue....” Elin mengatakan apa yang seharusnya dilakukan sekarang, tidak ingin lagi kehilangan Rendra.

Jelas-jelas Rendra tercengang mendengar pernyataan Elin, mengenai perasaan yang selama ini juga dirasakan. Saking bahagianya Rendra mulai berkaca-kaca, berharap ini bukan mimpi.

Elin dan Rendra tersenyum, saling mengalihkan pandangan sesaat sebelum kembali berpandangan. Tidak pernah disangka akan terjadi momen haru di antara keduanya, sulit untuk dipahami namun sudah terbukti.

“Kenapa baru sadar?”

“Ha?”

“Kenapa baru sadar?” Rendra tersenyum lebih dekat, “Gue suka sama elo sudah lama, selama ini ke mana saja?”

“Ha...” Elin teringat perkataan Ghazi dan Farrel, “Bentar-bentar, elo mau pindah ke Kalimantan?”

“Ha?” Rendra merasa tidak pernah mengatakan itu sebelumnya, terutama pindah ikut orang tuanya, “Pindah?”

“Iya, katanya Ghazi sama Farrel elo mau pindah sekolah, sekalian kuliah di sana!....”

“Gue enggak pernah ngomong gitu, paling elo dikerjain mereka. Tapi gue senang, kalau perasaan gue selama ini...” Rendra berhenti sejenak.

“Makasih, Ren!” Elin tersenyum bahagia, begitu juga Rendra membalas senyumnya.

Terdengar suara langkah kaki masuk, terdengar juga obrolan Ghazi dan Farrel. Rendra sempat memberi kabar kalau hari ini akan pulang, jelas itu akan disambut bahagia oleh temannya.

Hari yang sangat berharga, perasaan yang tulus dimilik Rendra, kini memberi kehangatan. Bukan lagi ketakutan untuk perpisahan, sebab Elin telah menjadi alasan mengapa cinta ini ada.

Air mengalir memasuki teko, langkah kaki menggeser tepat dihadapan kompor, cekrek begitulah api tampak oleh mata. Hingga sepasang suara sendal rumah memasuki dapur, pandangan beralih sejenak seraya membalas senyumannya.

“Elin, gue bantu ya” tegur Rendra berjalan untuk berdiri sejajar, “Gue bagian apa?”

“Bantui bikin es teh, gue mau goreng nugget sama sosis” mengambil dua teh celup tidak lupa di masukkan ke dalam wadah minum, “Kasih gula terus nanti kalau airnya udah mendidih tuang dikit saja, aduk sampai warna teh keluar, gula larut. Tambah air es sama es batu di kulkas”

“Gitu saja” meski sebenarnya Rendra sudah pernah membuat sendiri, namun Cuma ini yang bisa dilakukan sebelum pindah, “Terus aku bantu kamu apa lagi?”

Elin terdiam melihat wajah Rendra, sejenak mencerna ucapannya aku-kamu?

“Lin?” Rendra mendekati wajah Elin dan keduanya berada di jarak yang begitu dekat.

Sanubari memaksa untuk mendekat dan raga menyanggupi. Terlalu takjub dengan makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini, namun tetap saja masih belum bisa dimiliki. Lagi-lagi harus tenggelam dalam rasa kenyamanan, seiring waktu perasaan begitu kuat penuh cinta, sampai kapan bisa dibalas dengan rasa yang sama.

Maaf, jika ada harap. Andai barang di tempat ini dapat berbicara, maka mereka akan berkata lantang untuk cepat sadar. Untung tidak ada takdir bersuara, hanya bisa terdiam melihat dari jarak. Netra miliknya masih tampak ceria, pandai sekali menyembunyikan luka lama.

“Apaan sih, aneh Ren!” mencubit pinggang.

Rendra hanya bisa menerima, mana mungkin membalas cubitan itu yang ada dikatakan pelecehan, susah bukan jadi cowok. Senyuman lepas itu membunuh kesadaran dengan cepat, hingga jantung dipaksa untuk berdetak kencang.

***

Hening sesaat, terasa canggung berada di posisi sekarang. Ya, Rendra hanya memperhatikan Elin menikmati lalapan yang tadi dibeli bersama. Benak terus berpikir, apa keputusan kemarin itu memang benar?

Takut, bukan! Nyatanya sekarang, Rendra tidak mengerti tentang perasaannya, walau tahu Elin sekarang sudah mencintainya. Tetapi ada perasaan yang mengganjal di dalam hati, apa cinta Darian sudah usai?

“Elin” panggil Rendra melihat elin menikmati lalapan yang sudah lama diinginkan, “Gue mau kuliah di Surabaya”

Wajah bahagia itu sontak hilang, “Ha? Elo bilang enggak bakal pindah, terus maksudnya, elo bakal tinggalin gue lagi?”

“Iya, tapi-- ”

“Kenapa? Kita baru juga bareng lagi, kenapa harus pergi secepat ini, Ren?” Elin mulai berkaca-kaca, “Terus gue gimana, elo enggak sayang gue?”

“Gue sayang sama elo” diam sesaat mengatur kata agar tidak menyakiti, “Tapi hati elo masih buat Darian bukan gue...”

“Gue enggak mau kehilangan elo lagi, Ren. Please!”

“Gue bakal sering kasih kabar, kita janjian ketemu atau perlu gue samperin elo ke sini. Tapi gue enggak bisa kalau berada di sini lagi”

 Lagi-lagi diam bagai pilihan utama. Mengapa terasa sesakit ini, bahkan netra seakan ingin tumpah...

Dalam setiap kalimat tergores mengandung makna, pertemuan sederhana menyisipkan ego sejenak. Jika memang waktu memaksa untuk menjeda pertemuan, lalu kenapa perasaan ini enggan untuk menahan rindu.

Kebiasaan lama kembali terulang, benar.

Setiap hari Rendra senantiasa menunggu pada pelataran rumah, Elin masih seperti biasanya melupakan barang. Dan Rendra akan mengingatkannya, hal sederhana bagi sebagian orang.

Berangkat sekolah setiap pagi menaiki kendaraan roda dua itu, melewati jalanan dengan berbagai cerita berbeda. Semua terasa begitu cepat, kabar ujian dilaksanakan seminggu lagi.

Sungguh, bukan hal mudah untuk beranjak meninggal Jogja dengan ribuan kenangannya. Hanya saja ada masa depan yang harus dikejar, dan janji bertemu kembali dengan versi berbeda. Mulut masih sanggup untuk berkata, namun sanubari seakan faham apa yang dirasa.

Mengapa waktu berjalan begitu cepat? Hari berganti menuju nama yang sama, hingga ujian tiba saatnya. Bahkan upacara sementara ditiadakan, bukan bermaksud tidak menghargai, untuk minggu ini saja.

Kendaraan roda dua telah melewati gerbang sekolah terbuka lebar, siswa-siswi berjalan sambil berbincang-bincang. Tampak ramai, bahkan kendaraan umum masih senantiasa memberhentikan tepat di samping gerbang. Kelak suasana seperti ini akan menjadi kenangan dalam kerinduan, tidak ada satu momentum bisa diulang dengan rasa yang sama.

Rendra merasa harus bisa merelakan, masa-masa ini perlahan habis, apalagi sebentar lagi akan kuliah. Kadang berpikir, apa kesempatan untuk memiliki hati Elin apakah ada?

Ingin menyerah, tetapi dibalik hati kecil ini masih yakin suatu saat akan kembali. Susah, jika dua hati masih belum satu tujuan, kalau dipaksa malah menyakitkan.

“Lin, gue ngerasa ada diantara dua pilihan sekarang”

Kalimat itu menghentikan langkah Elin, membalikan badan hingga keduanya saling berhadapan dengan jarak dekat, “Elo kenapa, Ren?”

“Gue harus nunggu atau ngerelain?” Rendra menunduk menahan sesat di dada sejak lama, hingga semalam tidak tidur demi memberanikan untuk berbicara jujur, “Ini enggak mudah....”

Elin menghelakan nafas. Baru kali ini Rendra berbicara serius dari sebelumnya, sebelum menjawab pertanyaan bel masuk berbunyi, “Ren, masuk kelas dulu. Sementara kita fokus ujian dulu ya!”

Bukan perihal tidak mau menunggu, namun sampai kapan menanti jawaban yang belum tentu. Menjadikan kebersamaan sebagai harapan, ternyata malah melelahkan. Kapan akan sadar, bahwa terburu-buru untuk mendapatkan cinta malah menjadi ragu.

***


lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Ren, Jangan Pergi Lagi!, Selaras Yang Bertepi. Episode 47, Novel Remaja Romantis "