Tuntutan Yang Sering Dipinta, Skenario Cinta, Episode 2
Cerita Romantis Terbaru
lianasari993 - Kini terasakan lain, saat tingkah mulai berubah tanpa tersadarkan, apa mungkin ketulusan yang telah diberikan hanya untuk hiasan? Riko, tidak ada sedikitpun ingin berpisah, walau berat hati harus melepaskan. Lalu kenapa begitu melekat masa-masa bersama dulu, semakin timbul rasa benci, semakin sakit pula luka ini.
Trauma karena cinta masih belum bisa terselesaikan, meski kejadian itu telah berlalu, bahkan telah banyak perubahan yang kini bisa terbilang lebih baik dari sebelumnya. Hanya saja, rasa takut untuk memulai cinta sering kali menghadang juga menentang.
Selaksana peristiwa pengkhianatan kerap kali datang dalam bayangan, menciptakan lamunan hingga menampilkan adegan masa lalu yang tidak mengenakan. Walaupun usia telah dewasa dan telah siap menjalin hubungan lebih serius, sering kali Sara berkata santai demi menunda-nunda.
Terlebih lagi tuntutan pendidikan sering kali menjadi perdebatan sejak lulus sekolah menengah atas, bukan ingin menentang segala pinta, hanya saja itu bukan keinginan. Papa Tyo, dialah yang selalu mengendalikan Sara layaknya kuda pacuan, agar bisa mengikuti apa yang diinginkan.
Hidup dalam bayangan tuntutan sudah ada sejak kecil, harus ini-itu. Bahkan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi juga harus mengikuti kemauannya, meski Sara harus menuruti dengan segala perdebatan, tapi akhirnya memilih untuk mengalah.
Menjadi anak tunggal, bukan hal mudah seperti yang terlihat, jika salah melangkah bisa saja mengecewakan. Untung saja Sara masih bisa mewujudkan impian untuk bisa memiliki toko bunga, dengan segala macam keributan yang dulu dilewati, agar bisa meminta Papa Tyo menuruti pintanya.
Dengan satu syarat, yaitu harus tetap bekerja di perusahaan dan menghandle setiap permasalahan yang sering terjadi, itu sebabnya tidak akan sempat mencari pengganti Riko. Bisa saja sebagai keberuntungan, di mana kenangan dan luka yang dulu, masih bisa pergi sebentar dalam hidupnya.
Karena hingga sekarang masih belum siap menerima kehilangan, walau semua telah berlalu perasaan ini masih tetap sama, hanya saja mengalihkan dengan kesibukan.
“Kenapa sampai sekarang sulit banget melupain Riko, kalau boleh jujur, aku masih berharap bisa bersama lagi. Tapi kelakuannya dulu enggak bisa dibenarkan....” ucap Sara mencoba meyakinkan diri sendiri.
***
Tidak ada suara ketukan menjadi tanda kehadiran seseorang, melainkan gagang pintu mulai terbuka lebar bersama langkah sepatu berjalan menghampiri, benar. Itulah kebiasaan Papa Tyo, pasti akan menyuruh segera menyelesaikan pekerjaan atau menambah pekerjaan lagi, padahal hari libur.
Tiga berkas telah menimbulkan suara pada meja kerja, bersamaan netra melirik dengan nada keluhan, menandakan sudah lelah untuk bekerja.
“Ada lagi?” ucap Sara menyembunyikan rasa sebal.
“Selesaikan, nanti jam 21.00 malam berikan ke Papa!” dalam sekejap langkah kaki telah pergi, sembari menutup pintu pada posisi semula.
Raut muka menampakkan ekspresi lelah, bagaimana bisa dalam sekejap menyelesaikan? Tugas kemarin saja belum rampung, itulah yang sering berperan mengusir perasaan, cukup melelahkan jika harus kembali berdebat seperti kemarin. Mengalah, mengalah dan mengalah.
Penerangan lampu masih menemani dalam segala macam rasa, memberikan ruang untuk membagi kisah kehidupan yang bisa dibilang merepotkan, hampir tiap hari di tempat bekerja dan kamar pasti sama.
Jendela kamar masih menampakkan pemandangan luar pada lantai dua, di mana angkasa sedang memberi pertunjukan menarik yang jarang bisa dilihat setiap hari. Semburan warna oranye telah bersatu dengan warna biru, hingga menampilkan rona pink pada langit-langit.
Selain itu, awan ikut bersatu menyemburkan warna putih keabu-abuan. Coretan senja masih mendominasi seperti biasanya, entah mengapa kala itu rembulan malah merajuk menyembunyikan diri dibalik pekatnya awan, hanya menyisakan samar-samar cahaya yang akan menguning menjelang malam.
Tidak ada sedikitpun tanda kalau gemintang akan datang ikut menghiasi, sedang di manakah? Apa sedang sibuk dengan ribuan keluh yang belum terpecahkan, mungkin begitu. Karena jutaan makhluk bumi suka mengadu kisah.
Lihatlah, sudah berapa putaran burung-burung itu beterbangan mengisi kekosongan. Bersama suara kicauan sulit terdengar jelas, karena suara lain lebih kencang. Salah satu ada yang sedang hinggap di balkon, memerhatikan Sara sedari tadi dengan keheranan, apakah itu bertanya atau malah menonton saja?
“Apa aku bisa sebebas burung itu, enggak ada ikatan pada dirinya? Terbang tinggi tanpa ada ocehan yang menjatuhkan harapan, melelahkan!” celoteh mulut sambil membaca berkas telah terbuka untuk di salin pada layar laptop.
Musik biola masih tetap mengisi ruangan berukuran sedang, memberikan banyak macam lagu. Sedangkan alat musik biola malah tergeletak dekat meja, sudah beberapa minggu tidak lagi tersentuh dan dimainkan. Padahal hanya biola yang bisa membantu menenangkan jikalau sedang membutuhkan sandaran, juga kehangatan pada setiap keadaan.
Gesekan nada cinta terangkai sedemikian rupa, menjadi melodi indah dengan segenap rasa. Selalu mengisi kekosongan dalam semu, menghempas penghalang jika tiba-tiba ingin menghadang. Tik-tik waktu berdetik, hanya kesendirian hadir berkala.
Beberapa penghargaan prestasi sejak sekolah hingga kuliah tertata rapi pada sudut kamar dekat meja kerja, memperlihatkan seberapa pintar dan bakat yang dimiliki.
***
Titik fokus telah tersita dengan suara mobil memasuki teras rumah, sangat asing terdengar. Bersamaan suara pintu terbuka lebar, layaknya sudah siap siaga menyambut kehadiran tamu.
“Selamat malam, apa benar ini rumah Tyo?” canda laki-laki seusia dengan Papa.
Suara tawa menandakan keakraban dari keduanya, “Edi. Sudah lama kita enggak ketemu, gimana kabarnya, ayo masuk dulu!”
“Ya, seperti kelihatannya. Masih awet muda banget, sudah berapa lama kita enggak bertemu ya?” merangkul bahu sambil berjalan menuju ruang tamu.
“Sudah lama banget. Aku pikir bakal menetap di sana, ternyata balik juga. Ngomong-ngomong anakmu sudah berapa?” tanya Papa Tyo.
“Anakku dua, satu....” menghentikan ucapannya, “Ini dia!” melihat kehadiran seorang laki-laki yang datang bersamanya.
“Kevin, ini sahabat Papa, Om Tyo!”
Segera menjabat tangan, “Kevin.”
Turut kata yang tegas menampilkan sikap wibawa pada diri laki-laki itu, bahkan cara duduk yang telah terlatih.
Kevin, laki-laki berusia 33 tahun, keturunan Amerika-Indonesia(Sunda). Memiliki tubuh tinggi, atletis, hidung mancung, berkulit putih. Tatapan rambut berwarna coklat terang terbilang sangat rapi tidak keluar dari jalurnya, memperlihatkan bekas sisiran.
Menggunakan jam tangan berwarna silver mempercantik penampilan jas hitam menutupi bentuk tubuh berotot tersebut. Sorotan tatapan netra sering kali menjadi pusat perhatian, sangat cantik dan menarik jika dilihat secara dekat. Warna amber menampilkan kilauan keemasan seperti kuning tembaga.
“Yang satu cewek masih kuliah. Anakmu sendiri sudah berapa?” tanya om Edi balik.
“Enak anak laki-laki bisa jadi penerus bisnis” ucap Papa Tyo melihat penampilan Kevin bisa dibilang metroseksual.
“Bisa di bilang begitu.” Sembari melihat anaknya sebentar.
“Anakku cuma satu perempuan. Mana bisa jadi penerusku nanti, selama ini saja disuruh menurut sulitnya minta ampun. Bisanya cuma bantah, memang keras kepala, suka seenaknya. Dia itu enggak bisa apa-apa!” jelas Papa Tyo yang tidak pernah menganggap kerja keras Sara selama ini.
“Jangan merendahkan seenaknya, setiap anak punya potensi masing-masing, dari dulu kebanyakan menuntut sesuai kehendakmu, tanpa berpikir apa itu memang yang terbaik buat putrimu. Dia bukan catur yang bisa dikendalikan.” nasehat bijak yang selalu didengar waktu dulu bersama.
“Yang disukai putriku enggak ada gunanya, malah buang-buang waktu, nyatanya dari dulu les biola masih saja seperti itu.”
“Kau ini masih saja mengutamakan keuntungan dalam segala hal, tetap seperti dulu. Pantas putrimu kurang terbuka, ternyata kayak gini, sisakan waktu buat ngomong berdua, dengarkan setiap ceritanya biar tahu. Seperti apa yang selama ini diinginkan...”
“Alah, paling juga enggak penting. Kerja selalu mengeluh....”
Segera om Edi memotong, “Paling tugas yang kau kasih keterlaluan, bisa juga itu bukan pekerjaan yang dia inginkan. Stop menuntut putrimu terus, dia sudah besar, sudah tahu mana yang terbaik buat dirinya.”
Jiwa terasa tersayat mendengar ucapan yang sangat menyiksa, tidak akan pernah berharga selama ini yang dilakukan, melainkan kata-kata merendahkan kerap kali terdengar telinga Sara. Bekerja di perusahaan masih tetap bertahan, walau sama sekali tidak diinginkan, melelahkan harus terlihat biasa saja.
👉 Episode Selanjutnya
Penulis : @lianasari993
#puisi #sastra #prosa #quotes #diksi #literasi #kepenulisan #cerpen #novel #artikel #lianasari993 #cerlians #kata #pengkhianatan #cinta #ikatan #teman #perjanjian #perjodohan #tuntutan #kecewa #penyesalan #luka #cemburu #restu #tersakiti
Post a Comment for "Tuntutan Yang Sering Dipinta, Skenario Cinta, Episode 2"