Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Rumah Kedua, Selaras Yang Bertepi. Episode 14, Novel Remaja Romantis

Novel Selaras Yang Bertepi Terbaru



Dekapan hangat milik Darian, memberi ketenangan secara perlahan. Renggang nafas ini, berisik keributan tidak ingin lagi didengarkan. Terpejam mata merasakan lebih dalam, perasaan yang semakin lama semakin dekat.

Kenapa sih, harus berantem sekarang. Aku malu sama Darian! Pikir Elin melepas pelukan. Sekarang pasti Darian berpikir tentang apa yang sedang terjadi sekarang, bukan ini kemauan Elin. Harusnya mengajak ke rumah untuk berkenalan, namun kenyataannya malah berbeda.

“Gue masuk dulu, makasih” kata Elin menghapus bekas air mata mulai mengering, “Hati-hati di jalan!”

“Elo yakin?...” Darian begitu enggan pergi meninggalkan Elin saat kondisi sedang sedih, “Lin?....”

Elin mengangguk, “Gue baik-baik saja”

“Kalau gitu, gue pamit pulang”

“Iya, hati-hati”

Darian pamit pulang. Lalu Elin membuka pintu cukup keras, menghentikan tangisan Mama Bella, juga pandangan telah tertuju padanya.

Tubuh mematung menatap sendu, sesak dada terasa semakin kuat. Kelopak mata menahan kedipan, tidak lagi menghiraukan berapa kali air mata ini menetes. Elin menghembuskan napas panjang, lalu memilih untuk pergi dari harapan orang tuanya.

Berlari dengan langkah kaki tertahan, entas sudah berapa kali melarikan diri dari keributan, yang jelas ini bukan pertama kalinya. Pandangan telah menatap rumah di seberang jalan, Elin berjalan menghampirinya, mengetuk pintu agar segera di buka.

Samar-samar suara langkah kaki mendekat, pintu terbuka setengah, “Lin”

Suara itu terdengar begitu menenangkan, Elin tidak menjawab melainkan memeluk dengan erat. Menumpahkan segala tangis yang sedari tadi berusaha ditahan, tangisan Elin semakin pecah, oleh rasa penenang dari dekapan Rendra.

“Ren, gue boleh tidur di rumah elo enggak? Gue enggak mau pulang....” nada rendah Elin perlahan melepas pelukan, seraya menyeka air matanya.

Rendra hanya mengangguk, mempersilahkan masuk lalu menutup pintu kembali.


                               ***


Dari arah dapur, terdengar suara api dinyalakan. Dua piring putih tampak masih belum terisi, selai kacang telah terbuka wadahnya, bersebelahan pisau oles.

Seseorang datang dengan langkah kaki lemas, “Sudah bangun?”

Mengalihkan pandangan ke arah suara itu, “Iya, buruan mandi. Bentar lagi kita sarapan!”

Rendra semakin mendekat ke arah Elin yang sedang membalik roti dari teflon, “Gue malas mandi, lagian enggak bau!”

Mengarahkan ketiak ke wajah Elin, “Enggak bau kan?”

“Aahh, Rendra... buruan mandi, apa perlu gue mandiin...” omel Elin menggosok hidupnya sebab mencium bau masam ketiak.

“Boleh!”

“Rendra...”

“Iya, gue mandi sekarang...” berjalan ke arah kamar mandi.

Roti bakar selai kacang telah berada di meja makan beralas piring sebelumnya, susu putih instan telah beralih tempat pada wajah gelas bening.

Elin sudah mengenakan seragam, mengambil dari rumah sekalian mandi. Lalu memilih untuk kembali ke sini, perasaan marah sejak semalam masih ada. Walau tahu ini bukan pertama kali, hanya saja begitu malu saat tahu Darian mengetahui.

“Jangan bilang elo nongkrong di kamar mandi sambil main game?” ucap Elin melihat Rendra sudah berganti seragam, berjalan menghampirinya.

“Iyalah, daripada nongkrong enggak ngapain-ngapain” meneguk susu menyisakan setengah.

Hening sejenak, saling diam.


                                  ***


Ketika jam istirahat berbunyi, Darian telah berada di depan pintu kelas jurusan IPS, “Elin!”

“Darian, tumben ke sini, ada apa?”

“Gue mau ajak elo makan di kantin”

Elin beranjak dari tempat duduk, “Sama siapa saja?”

“Gue sama elo” sejenak pandangan melihat arah Rendra yang ingin melarang Elin pergi, tetapi tidak ada kuasa untuk melarang sebab itulah kadang serba salah ingin melarang tapi belum ada ikatan pacaran.

Ghazi berjalan menuju tempat duduk belakang, sebelumnya duduk di depan ketika waktu ulangan, “Telat elo...”

“Biarin...” jawab Rendra menyembunyikan wajah kecewa dengan mengalihkan pandangan sejenak ke arah belakang.

“Ren, kalau elo diam terus kayak gini Elin bakal jadian sama Darian, elo terima mereka pacaran? Mending elo jujur saja, kalau elo ada rasa daripada keduluan...” saran Ghazi paling paham soal cinta temannya ini.

“Sampai kapan elo terus fokus sama Elin, yang jelas-jelas enggak pernah tahu perasaan elo selama ini, lama-lama gue kasihan....”

“Di hati gue cuma ada Elin dari dulu sampai sekarang. Walaupun sampai sekarang kita masih jadi sahabat, tapi gue enggak pernah berhenti cinta sama dia...”

“Gue saja belum tentu bisa kayak gitu, setia banget elo sama dia, doa gue yang terbaik buat elo. Ren!” tambah Ghazi memberikan tepukan bahu sebagai tanda semangat bahwa keajaiban pasti akan ada, meski belum tahu apa yang nantinya akan terjadi asalkan mau berusaha.


                               ***


Suara pintu tertutup rapat, Elin memutuskan untuk duduk di teras. Sambil menunggu kedatangan Darian yang tadi sudah berjanji akan makan berdua, dari pesan hanya memberi tahu kalau masih dalam perjalanan.

Pandangan melihat rumah Rendra yang tanpa sepi, mengingat dirinya kini sedang bekerja paruh waktu di kafe milik Ghazi.

“Loh...” dalam sekejap mata Elin terfokus pada pintu rumah terbuka dari dalam, sedangkan tidak ada nampak kendaraan bermotor berada di teras.

“Widih, tumben elo dandan begitu, mau ke mana?” teriak Rendra kembali menutup pintu dengan kunci pada tangan kanannya, setelah itu memasukkan ke dalam tas sekolah.

“Mau jalan sama Darian, bukannya elo sekarang kerja ya?” berjalan pada pinggiran jalan perumahan agar tidak terlalu keras jika berbicara.

“Ambil buku tadi ketinggalan, elo sudah selesai bikin tugas?”

“Dari tadi malahan...” pandangan beralih menengok sepeda motor yang kini hampir mendekati keberadaan Elin, sudah pasti itu Darian.

“Jangan pulang malam-malam” nasehat Rendra sebenarnya tidak mengizinkan Elin pergi berdua dengan Darian, sudah cukup selama ini sering melihat mereka berdua di sekolah.

“Iya.” jawab Elin sedikit memanyunkan bibir, mengenakan helm seraya menaiki boncengan.

Rendra masih terdiam sejenak, melihat laju kendaraan roda dua perlahan termakan oleh sinar lampu. Masih dengan mulut terbungkam, sedangkan gejolak rasa luka membakar jiwa tanpa ragu. Hingga sesak dada kian mendera, ingin mengatakan kata cemburu dengan lantang. Tetapi Rendra memilih untuk segera menyudahi sebab berjanji akan segera kembali ke kafe, karena bagaimanapun harus bertanggung jawab atas pekerjaan.

Semilir angin malam menemani kebisuan, cahaya buatan manusia menerangi setiap penjuru dunia, bagai penentu arah agar tidak terlihat gelap. Aroma jajanan pinggir jalan terus mengalir bersama arah angin, mengendus sambil menikmati sejenak sebagai pereda kalau tidak makan, bisa dibilang makan angin tapi bikin kenyang atau malah masuk angin?

Terhenti kendaraan bermotor pada pelataran cukup luas depan kafe gaya industrial, terdapat tanaman kaktus berjarak lima puluh sentimeter dari pintu masuk pada dua sisi, terdengar kegaduhan beberapa cowok menikmati secangkir kopi juga camilan.


Judul : Selaras Yang Bertepi 

Penulis : lianasari993

         Jangan lupa follow , biar nggak ketinggalan cerita selanjutnya

Bila ingin memberi kritik dan saran langsung di kolom komentar....


lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Rumah Kedua, Selaras Yang Bertepi. Episode 14, Novel Remaja Romantis "