Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Rabu dan Rindu, Selaras Yang Bertepi. Episode 28, Novel Remaja Romantis

What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi 


Langkah kaki menaiki tangga menuju lantai dua, di mana letak jurusan IPS berada, bahwa langkah tersebut menuju sebuah ruangan kelas dua belas. Saat itu bel jam pulang telah berbunyi nyaring, lantas kelas Elin belum kunjung bubar, terdengar penjelasan materi sejarah.

Serasa sunyi ruangan bersamaan ada bisikkan menanyakan kapan akan segera pulang, hiruk keramaian luar kelas berseliweran Lalu lalang menuruni tangga, sontak itu menjadi perdebatan dalam gumaman. Terutama cowok yang ingin segera rampung, dengan sesuatu rencana yang akan dilakukan, yaitu sebuah obrolan anak tongkrongan.

Pintu bergaya kupu-kupu terbuka lebar, berdiri tubuh pada tepi kiri mengamati wajah kekasih dari kejauhan, lalu senyuman tipis bagai rasa kagum. Diambil benda berukuran pipih dari dalam kantung celana, memfokuskan kamera ponsel untuk bisa mengambil gambar lebih jelas dengan memperbesar ukuran, dalam hitungan detik tombol tersentuh beberapa kali.

“Pak, kapan pulangnya saya mau kerja, kelas lain sudah pada pulang?” Rendra mulai membuka suara, sudah pasti semua setuju dengan pertanyaan tersebut, apalagi cowok yang geram ingin segera menyudahi pembahasan sejarah.

“Bereskan buku-buku ke dalam tas, pimpin doa!” jawab guru pengajar berjalan menuju tempat duduk sambil menunggu semua selesai berberes, anggukkan kepala sebagai tanda arah untuk berdoa disegerakan.

“Berdoa di dalam hati mulai!” sebuah doa dipanjatkan atas rasa syukur telah belajar hari ini , “Berdoa selesai”

“Selamat sore, hati-hati pulangnya!”

“Sore.” serentak diikuti berjalan meninggalkan tempat duduk masing-masing, perlahan ruangan seakan berubah kesunyian, menyisakan bentuk kurang beraturan.

“Darian, kamu sudah lama di sini?”

“Lumayan. Serius banget belajarnya, sampai aku yang lihat dari luar enggak tahu!”

“Aku enggak tahu kalau kamu tunggu di sini, biasanya kan di tangga” menggandeng lengan tangan sebelah kanan, sambil berjalan terakhir menuruni tangga, sesekali melihat wajah Darian dengan menampilkan wajah tersenyum.

“Habis aku sudah kangen, enggak boleh?” rayu Darian dengan nada suara bikin cewek yang mendengar bisa meleleh, apalagi itu sudah membuat Elin semakin salah tingkah dengan mengalihkan pandangan ke samping.

“Boleh sih.”

“Mau jalan ke mana, heem?” terus menatap wajah sambil menunggu jawaban, “Nonton? Makan?”

“Makan. Aku sudah lapar gara-gara dari tadi belajar terus, habis itu kita bersepeda keliling sini saja, gimana?” jawab Elin sebentar lagi akan sampai di area parkir khusus mobil baik milik guru maupun siswa-siswi, karena area ini tidak begitu luas sebab banyak yang mengenakan sepeda motor.

“Kamu mau makan apa?”

Melewati beberapa siswa masih asyik bercanda.

“Terserah”

“Bakso?”

“Enggak ah, bosan makan bakso terus”

“Terus mau makan apa? Mie ayam?” saran Darian belum menentukan rekomendasi lain, meski sebenarnya agak bengung jika harus dijawab terserah.

“Enggak mau, tadi di kantin habis makan mie ayam”

“Apa ya?” Darian berpikir apa yang akan dibeli, karena pilihan itu tidak mau.

“Terserah”

“Nasi goreng?”

“Bosen, yang lain”

“Kita makan sushi atau steak daging? Gimana kalau steak di restoran dekat pertigaan?”

“Terserah kamu saja, aku ikut....”

***

Seragam putih abu-abu telah berganti. Kini hanya mengenakan kaos polos lengan pendek, celana pendek berwarna cream dan celemek hitam. Musik dari gitar akustik menemani, meski hanya beberapa lagu terdengar dari sound sistem pada pojok ruangan.

“Masih saja mikirin Elin, dia sekarang lagi sibuk pacaran. Sudahlah enggak usah dipikir, lihat salah satu cewek-cewek itu dari tadi lihatin elo terus, coba ajak kenalan. Siapa tahu kalian cocok, enggak usah kebanyakan mikir....” saran Ghazi hanya duduk sambil menikmati keramaian kafe miliknya, tidak lupa meminum es teh untuk mereda dahaga usai melayani.

“Percuma, yang ada gue malah bikin itu cewek sakit hati, gara-gara terlalu berharap sama orang yang enggak punya perasaan buat dia. Mending pura-pura enggak tahu, biar pelan-pelan dia pergi sendiri....”

“Curhat elo?” duduk di kursi barista berdekatan dengan posisi kursi milik Rendra, “Kalau dicerna kata-kata itu lebih fokus ke elo sendiri”

“Gha. Biasanya setiap hari rabu gue enggak masuk kerja, gara-gara mau makan lalapan sama Elin. Tapi sekarang enggak, dia sekarang lagi makan lalapan enggak ya sama Darian?”

“Mana gue tahu, coba elo telepon, dia sekarang ada di mana. Sekalian larang ajak Darian beli di tempat favorit kalian”

“Enggak ah, elo kan tahu Darian pernah chat gue pakai hp Elin supaya jauhi hubungan mereka berdua, terutama jaga jarak dari Elin. Awalnya sih sakit hati....”

“Sampai seterusnya bakal sakit hati juga...” lanjut Ghazi sudah bisa menebak apa yang sedang dirasakan, karena itu Ghazi mencoba membuat situasi hati Rendra tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

Rendra dan Ghazi kembali saling mendiamkan setelah percakapan terus berulang-ulang, walaupun begitu tidak ada rasa bosan dari diri Ghazi untuk menyudahi obrolan, melainkan mencoba mendukung apapun keputusan yang diambil. Sebab tentang perasaan bukanlah hal mudah dituntaskan dengan sekejap, butuh kekuatan batin jika setiap saat terjadi sesuatu.

Tutur kata tetap terjaga dengan menggunakan kelembutan, agar tidak ada tanda memancing emosi hingga perdebatan, jika sudah membahas Elin. Sudah bisa dipastikan hati Rendra akan mudah sensitif terhadap penjabaran buruk. Sekeras-kerasnya akan memberikan tameng kuat dalam menjaga nama baik cinta dalam diam, hanya untuk Elin seorang!

Rendra jalan ke belakang sambil membawa wadah tempat gelas kotor, terlihat tumpukan gelas dan piring kotor. Segera dibilas sambil mendengar musik yang sedang diputar pada sound sistem kafe, sekarang jam menunjukkan pukul delapan malam.

Kembali lagi Rendra ke tempat semula, tidak lupa membawa tas sekolah yang dibawa tadi. Sembari menunggu pelanggan datang, Ghazi juga ikut belajar bersama, karena besok ada ulangan.

Datanglah Farrel juga membawa tas sekolah, “Sudah dimulai nih?”

“Belum, gue lagi kerjain bahasa daerah” jawab Rendra menulis aksara Jawa dibuku, bisa dibilang ini pelajaran kesukaannya setelah sejarah.

“Martabak telur pesanan gue mana?” ucap Ghazi memerhatikan Farrel begitu santai menyeruput es teh miliknya.

“Oh iya, bentar gue ambil di sepeda dulu” Selang beberapa detik Farrel kembali, “Elo berdua sudah lihat grup?”

“Mana sempat, kafe gue lagi ramai...”

“Malam minggu anak-anak futsal ngajak nongkrong di sini, gimana menurut elo?” Jelas Farrel membuka bungkus martabak telur, samar-samar kepulan asap menyuarakan aroma gurih.

“Kafe gue mesti ditutup apa enggak?”

“Enggak usah, tadi gue sepakat sama yang lain, mau bikin acara kecil-kecilan. Makan bareng ayam geprek yang dijual dekat pertigaan, kan bisa dibawa pulang. Anak-anak ada yang mau bawa gitar, piano sama drum punya elo”

“Nge band nih rencananya?” sahut Rendra masih fokus menulis.

“Iya gitulah. Kalau kalian setuju gue bakal bilang ke anak-anak”

“Gue mah setuju saja, soal tempat biar gue yang urus!” kata Ghazi beranjak sebab ada yang pesan kopi.

Read More.....

lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Rabu dan Rindu, Selaras Yang Bertepi. Episode 28, Novel Remaja Romantis "