Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Benteng Vredeburg, Selaras Yang Bertepi. Episode 30, Novel Remaja Romantis

What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi 



“Benteng Vredeburg merupakan sebuah Benteng pertahanan untuk melindungi Keraton dan markas militer Belanda. Benteng yang dulunya bernama Rustenburg dengan arti benteng peristirahatan, namun karena mengalami kerusakan parah akibat gempa bumi pada tahun 1867, akhirnya Belanda merenovasi dan dirubah namanya menjadi Benteng Vredeburg atau Benteng Perdamaian.” Guru pengajar mencari siswa untuk melanjutkan penjelasan, ”Rendra lanjutkan”

“Sejak berdirinya benteng Vredeburg beberapa kali beralih fungsi. Awalnya menjadi benteng pertahanan Belanda, lalu pada masa penjajah Inggris Vredeburg dikuasai John Crawfurd atas perintah Raffles, pada tahun 1942 menjadi markas militer Jepang, tiga tahun berikutnya Benteng Vredeburg dijadikan tempat tawanan orang Belanda dan Indonesia, kemudian pasca proklamasi kemerdekaan RI Benteng Vredeburg akhirnya menjadi milik militer RI.”

“Sudah cukup. Kapan Benteng Vredeburg didirikan, coba Elin jawab?” guru pengajar tetap berdiri di dekat papan tulis, agar para siswa bisa membaca materi yang ada layar.

“Bangunan Benteng telah berdiri sejak abad ke-18 tepatnya pada tahun 1760.” Sebelum menjawab atau membaca siswa harus berdiri, setelah itu Elin kembali duduk.

“Ghazi, baca paragraf selanjutnya!..”

“Kemudian, Vredeburg menjadi saksi bisu berbagai peristiwa bersejarah di Yogyakarta sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda masuk ke Yogyakarta. Seperti: saat peristiwa Geger Sepoy yang mana Inggris menyerang Yogyakarta, tahun 1942 Jepang menguasai Yogyakarta, Kongres Perempuan I, dan peristiwa Agresi Militer II.”

***

Hari telah menunjukkan warna langit, senja seakan enggan untuk pergi, namun gumpalan awan kelabu mendesak agar cepat berlalu. Rembulan juga telah datang lebih awal, suara adzan berkumandang sebagai tanda untuk beristirahat sejenak pada urusan dunia, sebab ada akhirat yang harus diutamakan.

Burung-burung masih beterbangan di atap, hinggap lalu terbang kembali. Elin sudah ada di rumah, usai mandi untuk mengusir bau keringat. Diambil remote televisi yang tergeletak di meja, sambil bermain ponsel. Terlihat pesan singkat berasal dari Darian sepuluh menit lalu, karena sekarang ada janji akan jalan-jalan.

Terdengar suara pintu terbuka, langkah kaki terdengar jelas ketika masuki ruang tengah, Mama Bella seakan biasa saja melihat keberadaan Elin duduk santai. Tidak ada saling menegur, bagai orang asing meski tinggal satu atap. Sepatu hak tinggi lima sentimeter menaiki tangga, sambil menenteng tas selempang lumayan besar, dengan mengenakan pakaian kerja.

Pintu diketuk. Segera Elin beranjak untuk membukanya, “Eh, ada apa Ren?”

“Jadi ikut ke kafe apa enggak?” harap Rendra bisa mengajaknya berangkat bersama, telah lama sejak hubungan di antara keduanya merenggang.

“Maaf, gue enggak bisa ikutan. Darian bentar lagi mau ke rumah, enggak pa-pa kan?”

“Oh gitu” sesingkat itu jawaban yang diberikan, walau sedikit sedih tidak bisa mengajak ke kafe seperti biasanya.

***

Ketika sampai di tempat parkir, ternyata anggota futsal sudah mulai menata kafe untuk dijadikan nongkrong bersama, kali ini dipilih pada bagian sebelah kafe untuk acara mereka. Apalagi beberapa pelanggan juga mulai berdatangan, jika dilihat jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, semua sibuk dengan bagian masing-masing.

Sedangkan Rendra dan Ghazi masih tetap melayani. Apalagi lokasi kafe yang dekat jalan raya, tempat wisata, juga perkumpulan anak muda. Alat musik sudah tertata rapi, tinggal menunggu penyanyi cowoknya, lebih tepatnya anggota futsal yang sekarang sedang menata kamera.

“Rel, buruan nyanyi sudah ramai nih kafe gue!” tegur Darian membawa nampan berisi dua cangkir kopi panas untuk pelanggan.

“Iya, gue tahu” kata Farrel berjalan menuju kursi yang sengaja diambil dari dalam, sedangkan yang lain sudah siap.

Untuk lagu pembuka, diawali dengan suara gitar diikuti piano. Memang lagu yang dibawakan berbahasa jawa, karena lagu ini sudah banyak yang tahu, semua ikut bernyanyi bersama.

“Ren, tolong siapin kentang goreng sepuluh sama roti bakar rasa coklat ya!” pinta Ghazi membuat kopi capuccino.

“Siap” diambil kentang dari dalam yang sudah disediakan sedari tadi, selain itu ada adik Ghazi yang ikut membantu melayani.

“Dek antar ini ke meja nomor delapan sama sebelas” kata Ghazi ketika adiknya baru saja selesai mengantar ke meja dua dan lima.

“Iya, mas.” Sejak tadi pulang sekolah, adik Ghazi yang berusia lima belas tahun membantu berbelanja.

Sembari menunggu menggoreng kentang, Rendra membuat roti bakar rasa coklat, di kompor sebelahnya. Kini sudah ada tiga roti bakar yang akan segera diantar ke meja pelanggan cewek nomor empat, memang gerombolan cewek memilih tempat duduk dengan band dadakan dari anggota futsal.

Heboh? Jelas banget, lihat saja ada yang merekam video untuk di upload ke media sosial. Sedangkan gerombolan cowok ada yang main game, berbicara atau sekedar menikmati malam minggu. Paling ada beberapa yang ikut nyanyi tapi pelan, jangan heran kalau kafe sekarang lumayan penuh, hingga agak ribet melayani.

“Adik elo rajin juga, kenapa enggak disuruh kerja di kafe?” tegas Rendra melihat pekerjaannya lumayan cekatan dan melayani pelanggan dengan sopan.

“Itu saja gue paksa, gue sogok sepatu baru, makanya mau bantu di sini....” jelas Ghazi masih sibuk dengan alat pembuat kopi.

“Oh, sepatu keluar bulan ini?”

“Elo tahu?” Ghazi meletakkan dua cangkir kopi agar segera diantarkan ke pelanggan yang sudah lama menunggu, begitu juga kentang goreng masih panas.

“Tahulah, gue saja beli. Bahannya bagus, unlimited asli buatan Jogja”

“Gue malah ketinggalan berita nih, pengen beli juga deh” jawab Ghazi mengambil gelas di rak bawah meja belakangnya, “Kalau beli gue bareng, sekalian ajak adek gue!”

“Siap. Gue antar kentang goreng ini bentar, tolong kasih selai coklatnya!” jelas Rendra menuju luar, setelah itu menghampiri dua cowok yang baru saja datang.

“Robusta satu, espresso satu” ditulis pada note kecil yang selalu dibawa di dalam celemek coklatnya, “itu saja?”

“Kentang goreng dua” jelas salah satu cowok melihat buku menu yang sudah ada di meja.

“Siap” jawab Rendra pergi masuk ke dalam lagi.

“Hai Rendra, Ghazi!” panggil Elin tersenyum manis melihat keduanya sedang sibuk meracik kopi dengan takaran, “Lagi ada acara apaan?”

“Anak futsal ngajak nongkrong sekalian nge-band dadakan, kirain elo enggak bisa ke sini!” Ghazi melihat kedatangan Darian menyusul Elin yang lebih dulu masuk.

“Kan gue sudah lama enggak ke sini, Darian juga gue ajak!” melihat Darian yang duduk di kursi depan mesin pembuat kopi.

Ghazi melihat ke Darian, “Makasih sudah datang ke kafe gue, sering-sering ke sini!”

“Iya, lagi ada acara apa?” Darian melihat cowok futsal sedang menghibur pelanggan dengan menyanyikan lagu.

“Biasa nongkrong, mau pesan apa nih?”

“Kayak biasanya” Elin melihat Rendra yang sibuk menggoreng kentang, bahkan tadi hanya melihat sesaat lalu fokus sama pekerjaannya.

“Gue robusta” melihat ke Elin, “Cari tempat di luar yuk!”

“Yuk. Gha, gue di luar ya!” mengatakan ke Ghazi yang sedang menyiapkan capuccino pesanannya.

“Siap”

Read More.....

lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Benteng Vredeburg, Selaras Yang Bertepi. Episode 30, Novel Remaja Romantis "