Cerita Kita, Selaras Yang Bertepi. Episode 38, Novel Remaja Romantis
What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi
Para siswa sudah berada di kelas, teras, dan kantin. Usai merapikan area sekolah yang lumayan bikin penat, ada saja obrolan mereka. Bagaimana tidak, guru memberi pengumuman untuk hari ini ditiadakan pelajaran.
Elin sudah berada di kelas, begitu juga beberapa siswa lain. Rendra memasuki kelas sambil membawa siomay juga teh botol dingin, sedangkan Ghazi hanya membawa ayam geprek pada wadah putih.
Dilepas sumpelan telinga alias earphone, meletakkan pada meja begitu juga ponselnya, “Tumben elo enggak ke kantin sendiri?”
“Lagi malas, lagian gue sudah titip ke Rendra” mengambil siomay dari dalam keresek putih bening, tidak lupa teh miliknya.
“Lin, besok Keisha mau bantuin elo jualan kopi. Katanya di kelas dua belas jurusan IPA, enggak ada yang ikut jualan di bazar” Ghazi teringat apa yang didengar pas dari kantin, “Eh. Kalian dengar enggak, ada anak kelas sepuluh bahasa, punya distro?”
“Kalau enggak salah, dia anak ekstrakurikuler basket” jawab Elin yang tahu berita itu dari beberapa anggota basket, “Kain kaosnya lumayan tebal, dingin, menyerap keringat. Itu sih, yang gue tahu dari keterangan material bikinnya.”
“Kalau ada kaos yang bagus, gue pengen beli” ucap Rendra melihat Ghazi makan, “Gha, gue kerja berapa hari ya?”
“Yang bulan kemarin kan elo buat beli sepatu” Ghazi mencoba mengingat, “Minggu ini elo ambil duluan buat ganti ban sepeda, jadi elo punya hutang ke gue...”
“Ya elah, gagal beli kaos...”
“Kalau elo mau bon lagi, enggak masalah. Gue kasih pas di kafe, sekarang uang gue tinggal lima belas ribu, buat beli bensin!”
“Enggak deh, keseringan bon malah bikin bengkak...”
“Lain kali kan bisa beli, atau mau pinjam uang gue?” tawar Elin mencolok siomay dengan tusuk terbuat dari bambu.
“Enggak, gengsilah pinjam ke cewek. Harga diri...” tolak Rendra lebih urung membeli kaos daripada pinjam uang ke cewek.
“Emang kenapa, kan gue sering pinjam ke elo pas uang gue kurang!”
“Elin. Ini itu masalah harga diri, iya enggak, Ren!” Ghazi juga memiliki pendapat yang serupa.
“Terserah kalian”
“Capek ya, bersih-bersih?” wali kelas melihat beberapa sudah merebahkan tubuh di lantai, “Yang tidur, tolong duduk sebentar!”
“Kalian sebentar lagi boleh pulang, tapi tunggu bel berbunyi” belum selesai berbicara bel sudah lebih dulu berbunyi, “Ingat langsung pulang, jangan sampai main masih mengenakan seragam, kalau sampai ketahuan akan bapak hukum!”
“Iya, pak” serentak.
“Farrel, pimpin doa sebelum pulang. Jangan suka kebut-kebutan di jalan, itu jalan milik bersama, bukan milik pribadi...”
“Berdoa di dalam hati mulai” setelah itu Farrel berdiri diikuti yang lain, “Selamat siang”
“Selamat siang, pak” serentak.
“Lin, elo mau enggak jalan-jalan habis ini?”
“Maaf, Ren. Gue sudah janjian sama Darian, lain kali ya!”
“Oh, gitu.”
Ternyata Darian sudah menunggu di ambang pintu, “Lin, ayo pulang!”
“Ren, Gha, gue duluan ya!”
“Oke...” jawab Ghazi mengambil earphone di sebelahnya, tidak lupa mencari lagu dari daftar di ponselnya.
“Telat lagi elo, mending ikut gue belanja kopi. Di kafe ada beberapa yang habis...” Ghazi mengambil tas yang berada di senderan kursi.
“Gue ikut, daripada di rumah sendiri”
“Bukannya elo emang sendirian di rumah selama ini!...”
***
Sinar mentari di siang hari terasa panas, langit hampir dipenuhi hamparan biru terang, hanya sedikit awan menghiasi. Tetap saja pandangan netra menatap ke atas, sekejap kelopak mata akan mengecil secara otomatis.
Kicauan burung liar terdengar, walau hanya sekelebat bayangan terbang di udara, sebagai sedang berteduh di ranting pohon sepanjang jalan. Kadang sering berpikir, jika burung memilih hinggap di kabel listrik, apakah itu aman?
Elin dan Darian saling melempar obrolan, untuk mengusir rasa jenuh menunggu lampu merah, namun bukan hanya itu saja. Karena obrolan, sebagai memperkuat hubungan agar tetap stabil dan harmonis.
Dilihat kendaraan di belakang lewat kaca spion, setelah dirasa agak sepi sepeda perlahan-lahan mulai menepi. Pada pelataran luas depan warung makan, jam segini sedang sepi. Darian mengajak untuk mendatangi meja kasir sekaligus tempat memesan, setelah itu melihat area dalam dari jarak berdiri.
Mereka menghampiri tempat mencuci tangan yang berada di dekat meja kasir tersebut, apalagi tangan Darian sudah pasti kotor, usai mengendarai sepeda. Diambil tisu lebar sedikit kasar dekat cermin besar, kaki kiri menginjak bagian pembuka tempat sampah, berjalan menuju meja.
Diletakkan tas punggung di kursi belakang senderan, seraya ponsel tergeletak di meja. “Besok aku berangkat sekolah agak siang, mau antar Mbah ke rumah sakit dulu. Maaf, enggak bisa jemput kamu...”
“Iya, aku bisa naik ojek online”
Darian kembali melamun setelah kejadian tadi, mengapa kebersamaan itu harus dialami, membuatnya kembali sulit untuk memahami. Ada hal yang sulit sekali untuk dijelaskan, tentang takdir yang sedang memberi rencana, tetapi ada rasa takut pula.
Rahasia yang Elin tidak pernah tahu, tentang perasaan yang sangat sulit dikatakan. Kadang terlintas dalam benak untuk berkata jujur, tapi mengapa mulut selalu enggan, saat sulit berhadapan.
Sebenarnya cinta itu seperti apa? Apakah definisi kagum, suka dan cinta itu sama? Apakah membohongi dengan alasan cinta bisa dibenarkan?
Hanya kata maaf yang ingin Darian utarakan, tapi itu hanya terucap dari hati sedangkan mulut terus terkunci. Dihantui perasaan yang belum selesai, saat hati dan raga lain memilih!
“Darian” Elin memegang punggung tangan, menanyakan apa yang sedang dipikirkan.
“Apa? Kamu barusan ngomong apa?”
“Kamu kenapa, ada masalah?”
“Gimana ya?” Darian mencoba mencari cara untuk menjelaskan, bukannya lebih cepat lebih baik.
“Apanya?”
“Aku enggak tahu harus mulai dari mana ngomong ke kamu. Tapi sudah saatnya aku jujur, tentang perasaan ini, tentang hubungan kita” sejenak Darian mencoba berbicara dengan lembut, agar tidak menyakiti, “Aku minta maaf, aku enggak bermaksud nyakitin perasaan kamu.....”
“Maksud kamu?”
“Aku bakal jujur sekarang. Kalau sebenarnya..... sebenarnya yang aku cintai itu bukan kamu, tapi Keisha..”
Mengapa nafas terasa sesak setelah mendengar perkataan Darian, jantung berdetak kencang, tubuh seketika mematung. Pandangan mulai kabur, sebab netra berkaca-kaca, kenapa ini menyakitkan?
“Awalnya aku berpikir, kalau kita pacaran, perasaanku ke Keisha bisa hilang. Ternyata aku salah, aku masih terus mencintainya sampai sekarang...”
Elin kecewa, kenapa Darian yang disayangi harus mengatakan itu, kenapa tega melukainya? Dan kenapa, kenapa harus terjadi begini, lalu sekarang apa yang harus Elin lakukan?
“Perasaanku gimana? Terus kenapa harus aku yang kamu jadikan pelampiasan? Kenapa kamu minta aku jadi pacar kamu? Kenapa... kenapa?” banyak pertanyaan yang ingin Elin katanya, namun terasa sulit untuk diutarakan.
“Aku pikir dengan kesamaan kita, aku bisa jatuh cinta, nyatanya kesamaan belum tentu membuat kita bersama...”
“Sikap kamu yang perhatian, seakan kamu punya perasaan ke aku, itu maksudnya apa?” mungkin ini harus Elin bertanya lagi, tentang alasan mengapa Darian begitu baik sejak awal bertemu.
“Aku ngerasa nyaman setiap dekat kamu, bahkan kita satu anggota OSIS, satu ekstrakurikuler basket. Kamu murah senyum, selalu ceria dan siapapun yang ada di dekat kamu pasti merasa nyaman. Selama ini aku cuma mengagumi kamu, tapi perasaanku hanya untuk Keisha!”
“Kenapa kamu enggak pacaran sama Keisha?”
“Karena Keisha sudah jadian sama Ghazi. Makanya, aku berpikir kalau kita pacaran, perasaanku suatu saat nanti bisa berubah. Elin, aku minta maaf, aku enggak bermaksud menyakiti perasaan kamu!...”
“Oh, karena Keisha sudah sama yang lain, kamu melampiaskan ke aku? Sekarang kamu puas....”
“Aku enggak bermaksud....”
“Perasaanku sudah sakit, dan kamu barusan bilang enggak bermaksud menyakitiku?....” Setelah melepas emosinya, Elin memilih untuk pergi meninggalkan tempat ini, bergegas mencari ojek yang sedang berhenti di dekat jalan.
***


Post a Comment for "Cerita Kita, Selaras Yang Bertepi. Episode 38, Novel Remaja Romantis "