Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Hanya Ingin Tenang, Selaras Yang Bertepi. Episode 36, Novel Remaja Romantis

What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi 



 Keberadaan Rendra yang sedang bermain game di ruang televisi, segera berlari menuju Elin. Rendra sudah bisa menebak kalau orang tuanya Elin bertengkar lagi, “Lin, masuk!”

Duduklah Elin pada sofa yang saling bersebelahan keduanya, “Ren....”

Terasa bingung juga sakit harus berbicara, harus mulai dari mana untuk menjelaskan. Namun tatapan yang diberikan Rendra, seakan paham apa yang sedang dirasakan, Elin sedikit mereda tangisnya.

“Barusan mama bisa, suruh pilih ikut siapa? Gue bingung, takut, enggak tahu harus apa?”

“Semua pilihan ada di elo, sementara tenangin diri dulu, jangan ambil keputusan di saat gini!....” saran Rendra cukup menyenangkan sesaat, memang benar apa yang diucap.

“Apa mungkin karena gue....”
Rendra segera menyahut, “Gue ambil minum dulu, gue bikinin teh hangat, ya!”

“Makasih, Ren!”

Rendra pergi ke dapur, diambil cangkir putih di dalam rak meja dapur, meletakkan teh kantong dan gula satu sendok. Karena tidak ada air panas, Rendra memasak air kran sebentar hingga mendidih. Setelah itu dituang ke cangkir, tidak lupa diaduk dengan sendok teh.

Ketika sudah selesai dibuatkan, Rendra menghentikan langkahnya sebentar. Menghela nafas ringan, diikuti senyuman melihat Elin sudah tertidur di sofa. Diletakkan teh hangat tersebut di meja kaca, mata enggan untuk berpaling melihat wajah Elin.

Di ambil selimut yang ada di dalam laci dekat sofa, “Kebiasaan, habis nangis pasti ketiduran...”

***

Ayah Ferry sudah duduk di sofa berbeda, “Gara-gara kamu, Elin pergi!”

“Terus saja salahi aku. Kalau bukan karena Elin, aku mending pergi dari rumah ini, capek terus-terusan ribut!”

“Aku capek, mau istirahat.” Ayah Ferry memilih pergi masuk ke dalam kamar, membiarkan rumah terlihat berantakan.

Setelah kepergian suaminya, Mama Bella melepas segala rasa yang selama ini dipendam, hanya menangis sebagai pereda. Kadang berpikir, tentang alasan mengapa bertahan hingga kini, karena ada rasa takut jika Elin tidak bisa jauh dari ayahnya.

Namun, Mama Bella merasa lelah selama ini. Bertahan dengan pernikahan, yang dulunya saling berjanji akan hidup bersama, saling berucap saling mencintai. Ternyata ketika menjalani tidak semudah yang dibayangkan, sudah sering tangan melayang hingga mendarat pada tubuh.

“Elin, mama minta maaf, sudah gagal menjadi orang tua. Maaf jika selama ini kamu sering melihat mama dan ayah bertengkar, mama minta maaf!” batin terasa kacau, menunggu Elin kembali pulang.

Beranjaklah dari tempat duduk, untuk membereskan bekas pecahan beling juga air minum yang tumpah. Harus berhati-hati agar tidak mengenai, jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, sudah waktunya istirahat.

Mama Bella hanya mengirim pesan singkat pada Rendra, menanyakan keberadaan Elin dan memintanya untuk menemani. Bersyukur karena ada Rendra yang senantiasa menjaga Elin, berharap kebersamaan mereka akan tetap terjaga baik, karena mereka sudah bersama cukup lama.

Tatapan netra terpaku pada layar, pesan singkat sedikit meredam pikiran. Tidak ada yang mudah dalam menjalani hidup, kadang terlalu berekspektasi berlebihan malah sakit, berharap alur hidup bisa ditentukan. Tetapi manusia tidak bisa sadar, bahwa tuhan mencintai sementara bukan hanya untuknya.

***

Udara terasa lebih dingin, menandakan waktu telah berganti. Benak kembali terasa berisik, Elin memutuskan untuk tetap memejamkan mata sebentar. Denting jarum jam pada pojok ruangan itu cukup mengusik, namun dibiarkan sebagai nama biasanya.

Lelah, mau sampai kapan seperti ini?
Elin terbangun, mata terasa berat bekas menangis semalam. Dilihat tubuhnya sudah diselimuti, “Makasih, Ren”

Rendra berjalan untuk membangun, “Sudah bangun? Hari ini sekolah apa enggak?”

“Bentar, gue pulang dulu” Elin segera pulang untuk bersiap-siap sekolah, mungkin dengan datang ke sekolah bisa membantu untuk melupakan kejadian semalam.

Rumah masih tampak sepi, mungkin karena sekarang masih jam enam pagi. Segera Elin masuk ke dalam kamar, mandi, ganti seragam dan menyiapkan jadwal mata pelajaran hari ini.

Saat keluar pintu, Elin melihat Mama Bella dan Ayah Ferry duduk di meja makan. Saling diam, menikmati roti selai seperti biasanya, Elin berjalan menghampiri. Namun tidak duduk di kursi, melainkan berdiri menghadap orang tuanya.

“Jangan jadikan anak, sebagai alasan mama dan ayah bertahan. Sama saja kalian menyakiti perasaanku” tegas Elin sebelum akhirnya beranjak dari hadapan orang tuanya, tidak ingin mendengar alasan apapun, karena itu akan menyakiti perasaannya lagi.

***

Mentari telah cerah, memberi sinar alami pada bumi. Di atas tanah terpijak, kehidupan sudah dimulai, lalu lalang kendaraan maupun orang jalan kaki. Cukup gaduh suara mengisi, seperti membelah kesunyian dalam hati.

Elin hanya terdiam melihat jalan, masih terlintas kejadian semalam dalam benak, meski hari telah berganti. Rendra seakan paham apa yang dirasakan, hingga memilih terbungkam, fokus mengendarai sepeda menuju sekolah.

Ketika sampai di dalam kelas terasa sepi, ruangan telah bersih, mungkin siswa piket membersihkan kemarin sebelum pulang. Elin duduk di tempatnya begitu juga Rendra, saling terdiam sejak tadi. Perasaan Elin sedang kacau, bahkan saat dibonceng tanpa sadar meneteskan air.

“Kadang gue takut, jika nanti dapat pasangan seperti ayah!” pandangan Elin menatap papan tulis yang sudah bersih, “Apa gue bisa bertahan..?”

“Takut, sudah trauma gini” jelas Elin menoleh ke Rendra, “Bahkan gue enggak tahu harus gimana! Terlalu banyak rasa takut, capek terlihat selalu bahagia....”

“Kadang gue juga berpikir gitu, takut memulai banyak hal. Takut kecewa, takut enggak sesuai harapan, takut sakit hati....” sambung Rendra membalas tatapan lebih dalam, seakan berbicara apa yang selama ini sulit diucap.

Kehadiran Ghazi memecah suasana, “Tumben elo berdua datang pagi?”

Elin dan Rendra melihat kehadiran Ghazi, melepas earphone sebelah kiri dengan tangan kirinya. Jika dikatakan memang tiada hari tanpa earphone di telinga, itulah yang menjadi ciri khas dirinya.

“Barusan gue dengar dari anak-anak, kalau hari ini enggak ada pelajaran” ditarik kursi agar berhadapan dengan Rendra, “Diganti bersih-bersih area sekolah, buat acara futsal besok!”

Satu persatu siswa mulai berdatangan, sebab jarum jam terus berputar. Kondisi kelas sudah lebih dulu bersih, bahkan gorden di setiap kaca berganti pink. Pintu dibuka lebar, mengizinkan udara luar datang, bukankah itu disebut pertemuan.

Farrel datang dengan teman sebangkunya, “Woy, ngomongin apaan nih? Katanya besok ada bazar, tapi cuma kelas sepuluh sama sebelas, kelas dua belas diberi kelonggaran!”

“Bazar makanan?” Ghazi seperti tertarik untuk membahas ini, “Padahal gue pengen ikutan, jual kopi”

“Kalau elo jualan kopi yang main futsal siapa?”

“Oh iya, gue lupa!”

Wali kelas datang bersamaan bel masuk berbunyi, “Selamat pagi. Berhubung kegiatan pembelajaran sedang ditunda, untuk persiapan pertandingan futsal besok. Bapak harap kalian, bersih-bersih area sekolah dengan kelas lain juga.”

“Pak, kelas dua belas enggak boleh ikut jualan di bazar?” ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan Ghazi, tahun sebelumnya selalu ikut bazar di sekolah.

lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Hanya Ingin Tenang, Selaras Yang Bertepi. Episode 36, Novel Remaja Romantis "