Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Trauma, Selaras Yang Bertepi. Episode 35, Novel Remaja Romantis

What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi 



 “Sudah pulang tadi, katanya sih mau tidur, besok mesti bangun pagi anaknya sekolah”

Musik berbahasa jawa mengiringi sejak awal memasuki rumah, bahasa alus dengan makna kehidupan meski tidak semua paham. Barang siapa yang paham akan arti sudah pasti tentram hati, gending jawa mengalun berirama.

“Pantesan enggak balik lagi dari belakang. Anaknya masih kecil ya?”

“Masih kelas satu SD, yang pernah main bola di depan, waktu kamu datang ke sini!” Darian mengembalikan memori singkat yang telah dilihat, “Itu fotonya”

Mengarah pandangan pada meja berbahan dasar kayu jati dekat televisi itu, “Mirip kamu...”

“Iya, aku tahu tapi lebih ganteng aku kan?”

“Ihh, sok ganteng” ejek Elin melotot dengan menyengir kuda.

“Enggak usah malu” tatap Darian dengan senyum menggodanya, memiringkan kepala menggenggam pergelangan tangan elin lembut.

Kalau boleh jujur Rendra sudah muak berada pada momen ini, ingin sekali melempar piring ke lantai melihat mereka selalu mesra-mesraan di depannya, hanya saja niat itu diurungkan demi kewarasan. Definisi gila cinta atau gila lihat oleh saling cinta, bisa tidak jika waktu dipercepat untuk pulang.

Rendra menguap, setelah menghabiskan sebungkus nasi goreng.

Elin meletakkan piring di meja, dilihat wajah Rendra sudah mulai bosan, “Darian, aku izin pulang!”

“Kok buru-buru, masih jam segini?”

“Rendra mesti istirahat, tadi pas aku ajak ke sini habis latihan futsal. Jadi enggak sempat istirahat dulu!”

“Ya sudah, hati-hati. Rendra, gue titip Elin!”

“Iya, makasih nasi gorengnya” Rendra beranjak dari tempat duduk, sedikit ada rasa lega ketika Elin mengajaknya pulang.

“Aku pulang dulu ya....” Elin melambangkan tangan dengan tersenyum manis, mengikuti langkah kaki Rendra keluar rumah.

Elin membalikkan badan lalu memeluk Darian erat, dengan wajah manjanya berkata, “Aku masih pengen ketemu, pengen waktunya berjalan lebih lama biar kita kayak gini terus....”

Darian membalas pelukan erat mengecup pucuk kepala, “Aku juga masih kangen sama kamu, sekarang sudah malam kasian Rendra sudah ngantuk tuh!”

“Ya sudah aku pulang” melepas pelukan.

“Hati-hati.”

Elin menggguk seraya melambaikan tangan.

Sepanjang perjalanan Rendra tidak memulai obrolan, beda dari biasanya. Elin juga bingung mau berbicara apa, merasa bersalah harusnya tidak membiarkan berada di situasi tadi. Mau bagaimana lagi, kalau ketahuan pulang sendirian bakal kena marah.

***

Rendra menghentikan kendaraan di depan teras rumah. Meletakkan sepeda dekat pot tanaman, Elin masih diam meski tangan memberikan kembali helm. Usai dari rumah Darian, sepanjang perjalanan saling mendiam.

“Lin” Rendra mulai berbicara, mengubah rasa sunyi di antara keduanya.

Elin mengangkat dagunya yang sebelumnya menunduk, menenteng tas selempang. Kenapa di situasi begini lidah terasa kaku ingin berucap, bahkan benak sulit mencari obrolan, tidak seperti biasanya.

Suara benda pecah terdengar dari dalam, jelas-jelas itu bikin penasaran, apa yang sedang terjadi?

Bergegas Elin masuk mencari tahu arah suara tersebut. Ternyata pertengkaran kembali terulang lagi. Kini tubuh Elin mulai gemetar, pandangan mulai sedikit kabur, sebab air mata mulai menetes. Bersamaan benak terasa penuh dengan kebisingan, mengenai orang tuanya yang sedang ribut di depannya langsung.

Pecahan beling sudah berserakan, jika dilihat secara dekat, itu morong air putih. Bahkan air telah mengalir membasahi lantai, tidak ada yang bisa diucapkan, selain diam melihat apa yang terjadi. Pertengkaran apa lagi ini?

“Jadi istri enggak guna...” kalimat yang sering diucap Ayah Ferry, jika berkelahi. Melihat istrinya yang terisak tanpa henti.

“Kalau aku ngomong itu dengerin....” Ayah Ferry berteriak membanting remote televisi, “Aku cakep kayak gini terus....”

“Aku juga capek.....” keluh seorang istri yang masih duduk di sofa, “Kamu pikir yang capek, kamu saja?”

“Kamu yang selalu membesar-besarkan masalah, hal sepele saja dibikin ribut?” menuduh atas apa yang diperbuat sendiri, selalu saja tidak ingin kalah.

“Apa? Hal sepele?” mengulang kalimat tuduhannya, “Selama ini yang sering bikin masalah, yang suka lempar barang siapa?”

“Kamu yang mulai duluan....” Ayah Ferry kembali menyalahkan, bahkan tidak ada yang tahu siapa yang memulai keributan, bukankah sejak dulu selalu begitu.

“Aku enggak akan mulai, kalau kamu enggak bikin aku marah....”

“Harusnya kamu belajar, jangan dikit-dikit marah....” tidak sadar bahwa dirinya sendiri juga suka memancing emosi, membesarkan masalah.

“Oh...” Mama Bella mengangguk dengan emosi lelah, “Sekarang kamu salahin aku, dari awal kamu yang salah”

“Salah dari mana?” kembali membentak lagi. Langkah kaki perlahan mendekat dengan mata membelalak, jatuh berdebar kencang tangan ingin segera melayang ke arah depan.

“Enggak sadar kesalahan yang selama ini diperbuat? Baru empat bulan lalu, kamu pakai perhiasan yang aku beli sendiri buat bisnis enggak jelas, sekarang mana?”

“Aku ditipu, temanku kabur enggak ada kabar dua bulan....” jelasnya menahan emosi agar lebih stabil, namun nada suara masih tetap sama.

Belum selesai menjelaskan langsung dipotong, “Sejak awal aku sudah curiga, aku kasih tahu kamu enggak usah ikut-ikutan bisnis enggak jelas, tapi apa jawabannya? Kamu bilang bakal sukses?...”

“Aku mana tahu kalau bakal kayak gini, aku minta maaf!”

“Perhiasan yang kamu pakai itu tabungan kuliah Elin, aku kerja tiap hari sampai jarang ada waktu sama Elin. Bahkan kalau ketemu, aku kayak orang asing, enggak tahu mau ngomong apa? Bahkan apa masih pantas aku dipanggil Mama?”

“Kamu pikir cuma kamu yang ngerasain itu? Aku sebagai Ayah juga ingin banyak waktu sama Elin. Tapi aku kerja, aku kan sering bilang, enggak usah kerja. Urus rumah sama keluarga, tapi kamu malah kekeh....”

“Kamu pikir kebutuhan rumah tangga sedikit? Aku capek hampir tiap hari ribut kayak gini......”

“Kamu kan tahu, usaha aku sekarang lagi menurun.....”

“Sejak awal, aku bilang sama kamu. Jangan cuma mengandalkan satu usaha, sementara harus punya pekerjaan lain”

“Kamu pikir cari kerja gampang?....” nada tinggi itu hanya disauti sikap remeh, jengkel melihat sikap istrinya selalu melawan ucapannya, “Mikir....”

“Terserah... aku capek debat terus...” Mama Bella baru menyadari keberadaan Elin yang sedari tadi melihat orang tuanya.

“Elin, sekarang kamu pilih ikut Mama apa Ayah?” pertanyaan itu seakan membungkam, hanya Isak tangis terus menggema dengan mulut terbungkam kedua tangannya. Sebenarnya sejak lama ingin bicara ini, tapi selalu urung.

“Ternyata itu mau kamu sekarang, oke aku sanggupi” Ayah Ferry menjawab dengan enteng, “Kalau mau kamu sampai sini, urus secepatnya!”

“Aaaaahhhh......” teriak Elin menekan kepalanya dengan kuat, embusan nafas terasa sesak, air mata terus mengalir. Segera pergi keluar meninggalkan orang tuanya yang terus berdebat, kaki ini terus berlari kencang, menggedor-gedor pintu agar segera dibukakan.

Lelah bukan, berada diposisi yang masih tetap sama. Membingungkan, hanya mampu melarikan diri dari keadaan, sumpah bolehkah berteriak lantang di situasi ini? Nyatanya menangis pilihan pertama, berkali-kali di masa begini ternyata melemah juga.

Tidak ada lagi tempat untuk dituju, selain Rendra yang selalu ada. Bukan tidak menganggap keberadaan Darian, hanya saja belum waktunya Darian tahu apa yang sedang terjadi. Tempat tenang, Elin mencoba memanggil nama Rendra, agar segera di bukakan pintu.

“Ren... Rendra, buka pintunya!....” Elin memohon dengan tangis yang tidak bisa berhenti, “Rendra....”

Read More.....

lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Trauma, Selaras Yang Bertepi. Episode 35, Novel Remaja Romantis "