Pergi Tanpa Bilang, Selaras Yang Bertepi. Episode 41, Novel Remaja Romantis
What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi
“Ya sudah makan saja!”
“Enggak, gue mau makan salad...”
Diambil remote televisi pada meja belajar, kembali Elin duduk di kursi semula, mencari tayang yang sesuai. Jam segini memang jarang ada tayangan menarik, hanya ada berita mengenai kejadian alam.
“Ren, gue putus!” jelas Elin masih menatap layar televisi, mungkin sudah saatnya memberi tahu apa yang sedang terjadi tentang hubungannya.
“Kok bisa?” entah mengapa, Rendra merasa lega ketika mendengar kabar itu.
“Darian bilang, kalau orang yang selama ini dicintainya, Keisha” Elin mengambil nafas sejenak, “Bukan gue...”
“Darian ngomong gitu?”
Ada rasa kecewa yang sekarang dialami Rendra, tidak menyangka Darian tega menyakiti seseorang yang selama ini dicintainya. Kalau tahu sejak awal, sudah pasti Rendra akan melarang hubungan mereka. Terutama, cewek yang dicintai Darian adalah pacar temannya sendiri, Ghazi.
“Jangan bilang ke Ghazi, gue enggak mau ada keributan...”
“Keisha?”
“Keisha enggak tahu tentang ini, Darian diam-diam suka Keisha sejak mereka satu kelas, tolong Rahasiain ini. Gue mohon....”
“Kalau mau nangis, nangis saja. Biar lega....”
Elin sudah tidak kuasa lagi menahan dinding air mata, terasa sesak pada bagian dadanya, jiwanya masih merasa sakit setelah hubungan ini berakhir. Walau menangis Elin tetap makan salad dengn lahap, menikmati setiap suapan sampai tandas. Tidak lupa mengambil salad buah yang tergeletak dekat meja sampingnya.
“Mau makan bubur gue sekalian, kayaknya elo masih lapar deh....” menawarkan wadah berukuran sedang pada tangan kiri, sedangkan tangan kanan menyuap sekali lagi.
Elin menggeleng, “Makan saja, gue sudah kenyang kok!”
Sejenak hening, tayangan kartun mencuri perhatian Elin untuk menyudahi tangisannya. Lagi pula ingus dihidung membuat nafas sedikit tersenggal-senggal.
“Ren, kalau sudah sembuh makan lalapan di tempat biasa ya, gue yang traktir!”
“Iyalah, sambil keliling motoran kayak biasanya”
***
Elin berangkat sekolah dengan naik ojek online, sebab kaki Rendra masih sakit. Pelajaran pagi di mulai dengan bahasa Inggris, guru pengajar memberi tugas mengerjakan halaman dua puluh satu sampai dua puluh lima.
Tanpa kehadiran Rendra, suasana terasa sunyi, apa hanya Elin yang dapat merasa kesepian. Biasanya saling mencari jawaban bersama, tapi hari ini tidak ada semangat untuk mengerjakan, satu soal pun.
“Tumben elo malas gitu, elo sakit, Lin?” tegur Ghazi yang duduk di belakang bangku milik Rendra kosong.
“Enggak tahu, gue ngerasa enggak ada semangat sama sekali...” menarik kursi kayu.
“Elo lagi berantem sama Darian?” tanya Ghazi kembali seraya melepas menyumbat telinga miliknya.
“Enggak juga” untuk sementara lebih baik merahasiakan hubungannya dari Ghazi.
“Gara-gara Rendra ke Kalimantan?”
“Ha, Rendra ke Kalimantan?”
“Iya, kemarin dia bilang ke gue mau jenguk orang tuanya, katanya lagi sakit. Awalnya gue larang, soalnya kakinya belum sembuh, tapi dia kekeh berangkat. Rendra enggak bilang?....”
“Enggak bilang sama sekali. Kakinya kan masih sakit, kenapa enggak tunggu sembuh dulu sih, bikin khawatir gue saja...”
“Makanya dia enggak bilang pas pergi, takut elo omeli... Lagi pula enggak lama, minggu depan paling balik..”
“Tetap saja gue khawatir”
Farrel datang membawa sebungkus cilik, “Bukannya Rendra pindah ke Kalimantan ya, tadi sebelum berangkat sempat telepon gue....”
Elin hanya menatap wajah Farrel yang telah duduk dihadapannya, “Rel...?”
“Elo enggak tahu, Lin? Sebenarnya dia sudah lama mau pindah ke sana habis lulus sekolah, tapi enggak berani kasih tahu elo...” papar Farrel lagi sambil mengunyah cilok.
Ingin marah mendengar penjelasan tentang kepergian Rendra yang mendadak, namun Elin memilih untuk diam. Mencoba berpikir positif, kalau itu demi mengejar cita-cita. Tetapi sulit bagi Elin harus jauh dari sahabat yang selama ini sering di sampingnya.
***
Sepulang sekolah Elin bergegas mandi, tidak ada satupun panggilan dari Rendra. Membuatnya merasa kesal, dilempar botol sampo ke lantai, untung saja tertutup rapat.
“Aahh... Rendra, elo kenapa sih enggak kabari gue?” ucap Elin keluar kamar mandi dengan emosi, satu set pakaian rumah telah menutupi tubuh.
Dilirik ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur, kepala terasa penuh dengan segala rasa yang tidak paham mengapa bisa demikian. Tanpa henti benak terus berpikir tentang Rendra, ingin sekali bertanya mengapa pergi tanpa pamit.
Tapi Elin merasa ragu untuk bertanya, dipegang ponsel ingin mengirim pesan singkat, berkali-kali mengetik huruf lalu dihapus lagi. Bimbang, itu yang sedang dirasakan Elin, kenapa bisa begini?
Kenapa hati ini tiba-tiba merasa gengsi, biasanya mudah sekali mengirim pesan ke Rendra. Senyuman heran terlintas dari wajah, ada yang sedang terjadi? Kenapa tiba-tiba ada yang berbeda pada diri Elin?
Suara ketukan pintu.
“Masuk, Ma” bersama suara pintu terbuka.
“Barusan ada ojek online antar martabak manis dari Rendra, mama pikir Rendra enggak jadi pergi!” ditegakkan dekat posisi Elin tertidur.
“Mama tahu kalau Rendra pergi ke orang tuanya?” Elin mengganti posisi senderan ke tempat tidur, “Kok semua pada tahu, tapi Rendra enggak bilang apa-apa ke Elin...”
“Mama pikir kamu tahu dari Rendra. Ya sudah mama mau istirahat, besok ada keperluan penting, kalau enggak habis taro di kulkas!”
“Makasih, Ma.”
Diambilnya sepotong martabak, tiba-tiba ada rasa sakit yang tidak bisa ditahan, Elin meneteskan air mata. Kenapa terasa sakit ya!
Ketika sosok yang selama ini sering hadir, tiba-tiba pergi tanpa bilang. Tersisa ruang yang sering terisi mendadak kosong, suara yang sering terdengar berubah diam. Kenapa hapus begini, perpisahan sementara tetapi kenapa perasaan ini sulit menerima.
Pandangan beralih menatap ponsel, sama sekali tidak ada lagi pesan singkat.
Perasaan ini mengganggu niat untuk tidur, benak terasa kacau. Elin mencoba menutup mata, di bawah hangatnya selimut putih. Jarum jam terdengar jelas, sebab rumah masih tampak sunyi.
Elin memutuskan untuk mendengar lagu, berharap bisa menjadi pengantar tidur, dan benak tiga putaran lagu membuatnya terlelap dalam sekejap.
***
Fajar telah membangunkan, kini Elin sedang membakar roti seperti biasa, tampak selai stroberi berada di meja dapur. Sembari menunggu diambil kotak bekal pada lemari, warna biru muda dan merah.
Ketika meletakkan roti, teringat kalau hari ini Rendra belum juga balik. Senyuman sedih merubah suasana hati Elin. Terasa ada yang kurang, sebab kalau bawa bekal pasti dua, kali ini hanya satu miliknya sendiri.
“Elin...” kehadiran Mama Bella mengambil air minum dari dalam kulkas, hari ini sedang menyiapkan untuk berangkat kerja, “Kamu naik ojek online?”
“Iya, Ma” berjalan meletakkan bekal ke dalam tas, “Elin berangkat!”
“Hati-hati”
“Iya, Ma.”
Terdengar kendaraan roda dua berhenti di depan rumah seraya menyalakan klakson. Elin berjalan menghampirinya, menerima helm sebelum menaiki boncengan.
***
Post a Comment for "Pergi Tanpa Bilang, Selaras Yang Bertepi. Episode 41, Novel Remaja Romantis "