Ruang Kosong, Selaras Yang Bertepi. Episode 42, Novel Remaja Romantis
What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi
Suara bel masuk berbunyi. Kelas telah ramai, bergaduh saling melempar obrolan. Berangkat sekolah seperti tidak punya tenaga, Elin melihat Ghazi sudah lebih dulu berangkat. Mengenakan earphone sambil bermain game, sedangkan Farrel mengoceh tentang game tersebut.
Biasanya ada Rendra yang selalu antusias bermain dengan mereka, rela berangkat pagi. Elin hanya menghela nafas berjalan ke tempat duduknya, berharap ini tidak akan lama!
“Ada Elin” senggol Farrel, “Elo bakal kasih tahu apa enggak?”
“Kasih tahu apa?” sahut Elin duduk di depannya, membuat mereka menghentikan bermain game.
“Eh, gimana ya” ucap Ghazi ragu, “Sebenarnya.... Elo jangan marah ya?”
“Ada apa sih?”
“Rendra mau pindah, ikut orang tuanya!”
Ponsel yang dipegang Elin langsung terjatuh, “Pindah? Kenapa?”
“Orang tuanya pengen Rendra tinggal bareng sama mereka, sekalian kuliah di sana...” papar Ghazi berhati-hati dalam menyampaikan, sebab tahu kalau Elin bakal terluka mendengar kabar ini.
“Kenapa?” Elin tidak kuasa lagi menahan air mata, “Tega banget sih, Ren”
“Gue tahu, elo pasti sedih, kalian sudah beberapa tahun bareng tiba-tiba....” Ghazi mengurungkan ucapannya, tidak tega melihat Elin menangis.
Di meja sebelah Farrel ada yang membawa tisu, diambilnya tanpa bilang ke pemilik tisu. Meletakkan depan Elin, sebab ada beberapa yang melihat momen ini, bisa jadi masalah. Apalagi sekarang yang diharapkan Elin, Farrel dan Ghazi. Takut dituduh negatif, sebentar lagi guru pengajar akan datang.
“Kenapa Rendra enggak bilang ke gue?”
“Rendra enggak tega, lihat elo sedih....”
“Tapi gue sudah sedih....” Elin menunduk sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendela, “Kalau ada kabar dari Rendra, langsung kasih tahu gue...”
“Gue bakal kasih tahu elo” Ghazi menggeser posisi tisu, “Bentar lagi gurunya masuk kelas!”
“Makasih”
“Kita sudah janji ke Rendra, bakal jagain elo” sahut Farrel memberi senyuman ketenangan, begitu juga Ghazi.
“Berarti Rendra bakal pindah mulai sekarang, kirain nunggu lulus sekolah dulu. Kenapa harus tiba-tiba gini sih...!” Elin mengelap perlahan agar tidak menghapus bedakmya, “Tega banget sih...”
“Awalnya Rendra enggak setuju, tapi mau gimana lagi....” tambah Farrel, “Lin, sampai kapan pun, kita berdua bakal ada buat elo...”
“Makasih ya, kalian baik banget ke gue...”
“sama-sama.”
***
Senja hilang, menyisakan hamparan gelap sedikit kebiruan tua. Netra menatap bintang yang hanya sendirian, sebagai penggambaran diri. Ada rasa yang tertahan, ada ucapan harus segera tersampaikan, hanya saja kini telah berbeda.
Rendra, sedang apa sekarang?
“Kita sengaja dipisahkan oleh waktu, tapi aku takut bilang rindu” gumam Elin menundukkan kepala seraya mengedip mata berkali-kali.
Gemercik air kolam pada pelataran mengisi kekosongan, ikan yang dulu pernah dibeli bersama masih tetap di tempatnya. Langkah kaki perlahan mendekat, seakan berbincang dengan mereka, ternyata ini tidak mudah.
Ponsel masih tetap tergeletak di meja kecil, terdengar pesan singkat baru saja mendarat, tapi bukan Darian yang sekarang di tunggu. Benar, Darian masih berusaha untuk mendekati Elin kembali.
Tanpa sadar seseorang hadir dengan ponsel masih melekat di telinga kirinya, “Boleh aku datang?”
Elin membalikkan badan mengarah suara itu berada, “Bukannya kita sudah selesai, kamu sendiri yang minta?”
“Maaf” berjalan lebih dekat, “Aku minta maaf, maaf Elin!”
“Aku lagi enggak bisa diganggu”
“Sebentar saja” Darian menatap dengan tatapan berbinar, “Maaf, kalau selama ini aku kurang menghargai keberadaan kamu. Tapi, setelah putus. Aku benar-benar kehilangan kamu, aku mulai nyaman. Beri aku kesempatan....”
“Terus kamu sama Keisha.....”
Darian langsung memotong ucapan, “Aku maunya kamu...”
“Kamu serius?”
Langkah kaki mendekat, menatap lekat dengan keyakinan, “Kali ini aku serius. Aku tahu kamu masih sayang sama aku...”
“Enggak” jawab Elin cepat.
“Kalau kamu..... sudah enggak sayang sama aku, kenapa enggak natap mata aku?” senyum tipis tampak pada wajah Darian, “Tatap mata aku!....”
Netra Elin menatap sekilas sebelum akhirnya menatap tangannya yang masih digenggam Darian.
Darian tertawa kecil, “Dari dulu kamu enggak berubah ya. Boleh enggak, sesekali kamu natap mata aku lebih lama-“
“Besok pagi aku jemput, kita berangkat sekolah kayak biasanya. Sekarang aku pamit pulang, selamat malam.... sayang!” mengusap rambut Elin dengan tangan manjanya.
Ahh. Mimpi apa semalam, jiwa seakan berdebar lebih kencang dari biasanya. Apa ini sudah diambang gila?
Elin dilanda berbagi macam perasaan canggung, gelisah, bahagia. Sumpah kenapa harus tiba-tiba. Tolong selamatkan pikiran agar tetap sehat, ingin sekali jungkir balik, semua berjalan tanpa skenario jauh dari bayangan. Ini benar-benar gila.
Darian berpamitan pulang.
“Rendra....” teriak Elin lantang menetap arah depan, “Gue mau cerita, tapi elo kapan balik ....”
Mengambil ponsel yang tergeletak, nama Rendra tampak jelas pada layar. Beberapa kata telah diketik lalu dihapus lagi, begitulah seterusnya.
Elin menghela nafas panjang, baru kali ini bingung mau menghubungi Rendra. Biasanya mudah, “Rendra....”
Ponsel diletakkan kembali.
Embusan angin malam melewati tubuh berbalut kain tipis, terasa dingin namun enggan untuk masuk ke dalam rumah. Pandangan menatap sekeliling mengusir rasa rindu yang sering datang akhir-akhir ini. Eh mau sampai kapan, Elin yang ceria sudah berbeda, lebih banyak diam dan melamun.
Hampir dua jam berada di teras, komplek perumahan selalu sepi. Hanya kendaraan penghuni sesekali melewati depan rumah, tidak ada penjual keliling yang selalu jalan kaki menjajakan dagangan.
Alunan musik terdengar samar-samar, melamun lebih lama tanpa sadar mobil datang. Berhenti sejenak sebelum akhirnya berlalu pergi, langkah kaki itu berjalan menghampiri, menenteng tas berukuran sedang pada tangan kiri.
“Ma...” Elin menatap dengan mata berbinar-binar, “Ternyata Elin enggak bisa tanpa Rendra, hari-hari terasa kosong. Kenapa kepergiannya bisa sesakit ini ya!.....”
Menelan saliva seraya menarik nafas dengan embusan panjang, “Belum siap kalau pergi secepat ini....”
Mama Bella berjalan menghampiri putrinya yang sedang berada di teras rumah menatap arah rumah milik Rendra, hal yang biasanya dilakukan sambil berbincang dari seberang jalan. Tetapi masa itu telah berlalu begitu cepat, hanya meninggalkan kekosongan, celetuk tawa yang selalu menghiasi telah pergi tanpa berpamitan.
“Ruang tenang aku hilang semua. Keluarga kita memang masih utuh, tapi terasa kosong” menjeda ucapannya sesaat, *Dan sekarang tempat ternyaman satu-satunya harus hilang juga. Elin masih belum sanggup kalau harus kehilangan dua-duanya...”
“Mama minta maaf, enggak bisa jadi orang tua yang baik buat kamu” tanpa sadar setetes terlepas begitu saja, “Mama tahu, kalau selama ini selalu mengutamakan pekerjaan sampai lupa sama anak sendiri. Kamu berhak benci sama mama, kamu berhak marah sama mama, tapi tolong jangan pernah merasa sendiri...”
“Tapi mama enggak bisa kalau harus rujuk sama ayah kamu, karena ini sudah terlalu lama, mama capek. Elin, tolong ngertiin keputusan mama!”
“Sekarang Rendra memang jauh, tapi rasakan keberadaan Rendra selalu ada di samping kamu, karena sampai kapan pun punya ikatan yang kuat....”
“Malam ini, Elin boleh tidur sama mama?”
Pelukan hangat ini berhasil mengharukan suasana, tangisan keduanya pecah. Elin memeluk dengan begitu erat, tidak menyangka harus berpisah ketika mama Bella memutuskan untuk bercerai.
Sedangkan Ayah Ferry tiga hari belum pulang, mungkin itu alasan mengapa Mama Bella datang.
***
Post a Comment for "Ruang Kosong, Selaras Yang Bertepi. Episode 42, Novel Remaja Romantis "