Pergi Mustahil Untuk Kembali, Selaras Yang Bertepi. Episode 44, Novel Remaja Romantis
What Really Is Our Relationship, Selaras Yang Bertepi
Terasa berbeda dari biasanya, lingkungan perjalanan menuju rumah Darian ramai orang-orang, semakin mendekat perasaan tidak enak dengan segala pikiran mengganggu. Darian mencoba untuk tetap berpikir positif, namun ibu-ibu berjalan saling beriringan.
Sedikit kekosongan belum tahu jawaban, embusan nafas panjang menghilangkan sesak di dada. Entah mengapa netra ini seakan ingin menetes dan benar semua terjawab saat berhenti di pelataran rumah. Bendera warna kuning terpasang pada sebatang pohon bambu, tanpa berbicara langkah kaki ini berlari memasuki rumah.
Betapa terkejutnya, saudara dan tetangga sudah berada di sana. Mereka menatap kehadiran Darian dengan penuh iba, tas yang ada di bahunya di lepas begitu saja.
Tangis histeris mengisi ruangan, “Kenapa nenek tinggalin Darian, nek bangun jangan pergi, Darian sendirian.....”
Doa terus terdengar, suara terasa begitu berat untuk mengucapkan selamat tinggal. Tempat untuk bersandarnya kini telah runtuh, bagaimana bisa harus kehilangan seorang yang selalu ada sejak kecil dan sudah dianggap orang tua sendiri.
Tidak lekang dari hati, momen ketika masih kecil terus bergentayangan dalam benak. Tatapan kosong sibuk dengan pikiran, Darian membisu sesaat namun tetap saja derai mata tidak akan bisa dibendung.
Terisak-isak merindukan kehangatan, lalu dekap mana yang nanti akan mengiringi sepanjang malam. Bagaimana tidak runtuh, saat melihat tubuh tegak kini telah berbaring tidak bernyawa. Riuh mengelilingi, mendadak jadi sunyi, menyakitkan.
Elin hanya terdiam memandang punggung Darian yang memeluk nenek untuk terakhir kalinya, netra sudah tidak bisa dibendung lagi. Elin bisa merasakan apa yang Darian rasakan, keberadaan memang tidak mudah, hanya saja ini juga takdir Tuhan.
Hari ini, terasa begitu berat. Enggan untuk berbincang, Elin masih tetap diam duduk bersebelahan dengan Darian. Ingin mengajaknya berbicara, namun mulut enggan bersuara. Berada di situasi serba kebingungan, apa yang harus dilakukan!
***
“Aku enggak mau kamu bawa Elin, kalau mau pergi sendiri. Aku masih punya hak atas dirinya....” papar Mama Bella bertentangan dengan keputusan suaminya, “Elin itu masih di bawah umur, jadi aku akan menang dari keputusan pengadilan”
“Aku tetap akan bawa Elin” Ayah Ferry beranjak dari sofa ruang tamu, ketika melihat Elin kini berada di ruangan yang sama.
“Cukup, Mama dan Ayah bertengkar. Mau sampai kapan keluarga kita seperti ini?”
Elin terdiam sejenak mengatur nafasnya, “Elin capek lihat Mama sama Ayah bertengkar, mau sampai kapan keluarga kita gini terus....”
Mama Bella mendekat melihat putrinya menangis, “Mama minta maaf....”
“Elin enggak mempermasalahkan kalian cerai, tapi Elin minta, tolong jangan bertengkar di depan Elin....” menggenggam tangan mamanya, “Dari dulu Elin ketakutan, setiap kalian bertengkar. Selalu saja ada barang yang dilempar, terdengar tamparan, siapa lagi yang bisa menenangkan Elin selain Rendra dan sekarang dia malah pergi.....”
Tangisan Elin semakin menggema dalam ruangan, “Capek, Ma, Yah. Harus hidup di dalam keluarga kayak gini....”
Ayah Ferry yang sedari tadi terdiam, kini menangis mendengar ucapan putrinya. Memilih untuk masuk ke dalam kamar meninggalkan kita berdua yang masih berpelukan erat.
Suara lirih terucap dari mulut mama, “Nanti kalau cari pasangan jangan kayak ayah, mama enggak mau kamu terluka. Dan kamu harus lebih hati-hati, walaupun enggak semua laki-laki itu sama....”
“Ma, kenapa ya? Sakit hati Elin waktu kecil masih belum sembuh....” Elin masih ingat bentakan ayah ketika memukul mama, Elin berusaha melindungi dengan cara memeluk tetapi justru kena marah.
Kenapa ya, ketika rasa sakit atas perlakuan ayah sulit untuk di lupakan bahkan bisa trauma, namun kalau mama yang membentak tidak ada kebencian?
“Sekarang kamu istirahat ya, sudah malam. Mama temani” mengambil tas selempang sedari tadi tergeletak di sofa, “Setelah kamu tidur Mama harus pulang, nurut sama Ayah!”
Tidak ada respon, hari ini terasa begitu berat.
Darian masih belum menghubungi. Elin mencoba untuk paham atas duka yang sedang dialaminya, ini bukan hal mudah bagi kehidupan manusia, ketika semesta mengambil raga itu untuk segera meninggalkan bumi tempat berpijak.
***
Langkah kaki ini keluar dari dalam kamar, bekas tangisan tadi meninggalkan rasa lelah, bahkan ingin istirahat pun begitu sulit. Darian masih belum sepenuhnya ikhlas atas kepergian, setengah kebahagiaan telah gugur, menyisakan duka pada relung hatinya.
Tarikan nafas panjang, mencoba meredakan sesak dalam diri. Sunyi, gambaran pada ruangan bernuansa Jogja ini. Mulai sekarang suara kasih sayang itu, berpamitan pergi.
Andai waktu bisa diputar, tidak akan pernah meninggalkan nenek sendirian di rumah, hanya saja keadaan yang membuat Darian harus tetap menjalani alur cerita dalam hidupnya.
Suara air mineral mengalir dari dalam kendi, mengisi gelas kosong pada tangan kiri. Ditarik kursi dari anyaman sebelum meneguk sambil duduk, dua gelas air cukup melegakan tenggorokan yang belum terisi sejak masuk ke rumah.
Jarum jam menunjukkan pukul 01.15 wib. Darian meraih ponsel yang tergeletak di sebelahnya, banyak pesan masuk mengucap belasungkawa. Kabar ini telah merembet ke lingkungan sekolah, mungkin sementara izin tidak masuk sekolah. Mencoba untuk menenangkan diri, menjauh dari pertanyaan yang sewaktu-waktu pasti dipertanyakan.
Pandangan berhenti pada satu nama yang selalu menggunakan benaknya selama ini, dia adalah Keisha. Sosok perempuan yang telah mengambil semua perasaannya dalam waktu panjang. Pesan singkat terlihat jelas pada layar ponsel, ucapan belasungkawa dan segera Darian membalas pesan itu meski terlambat.
Suara burung perkutut terdengar dari arah belakang, hewan peliharaan nenek seperti paham apa yang sedang dirasakan. Tersisa hanya satu, Darian akan merawat perkutut seperti kebiasaan nenek. Menjaga, memberi makan sesekali mengajak berbicara. Terkesan berlebihan,
Yah, suara burung perkutut itu membawa Darian pada memori kecilnya. Pesan yang sering diucapkan berulang, “Le, burung kutut punya banyak kelebihan, tanpa kita sadari. Kalau punya kepekaan, kadang memberi sinyal baik kepada pemiliknya”
Darian mengerutkan kening, tanda tidak faham maksud yang disampaikan.
“Begini loh, Le. Sesuatu yang akan terjadi selanjutnya, terutama untuk kebaikan pemiliknya. Perkutut akan memberi sinyal lewat suaranya....” nenek tersenyum berpikir untuk memberi contoh.
“Kemarin sebelum berangkat sekolah, nenek menyuruh kamu bawa sepeda toh. Seandainya milih jalan kaki, mungkin sudah kehujanan di jalan....”
Darian mengangguk, karena turun hujan sudah berada di tempat parkir sekolah. Meski ragu atas ucapan nenek mengenai sinyal baik perkutut, tapi beberapa hal sudah dialami.
“Le, kamu harus ingat, jangan gunakan burung kutut menjadi kepercayaan sepenuhnya. Tapi sebagai perantara dari tuhan, untuk mengingatkan kita....”
“Jaga peliharaan nenek, jangan dijual apapun alasannya. Kutut bakal temani kamu, kalau nenek enggak ada di rumah.”
Pesan yang sudah terlalu lama, ketika Darian baru menginjak kelas satu SMP. Tetapi pesan nenek tidak akan pernah dilupakan, setelah membalas pesan Keisha.


Post a Comment for "Pergi Mustahil Untuk Kembali, Selaras Yang Bertepi. Episode 44, Novel Remaja Romantis "