Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Midnight Friends, What Really Is Our Relationship? Episode 9, Novel Remaja Romantis

Novel What Really Is Our Relationship?

 

 

Namun itu cukup nihil, bertemu saja sudah tidak lagi, berkomunikasi perlahan terbatas dengan alasan sibuk. Hanya sunyi malam, dan hanya kesepian yang Rendra rasakan selama ini. Mengurung perasaan dengan memperlihatkan keadaan baik-baik saja, tapi lelah.

Menatap langit-langit kamar, menahan mata agar tidak berkedip, dinding kaca itu perlahan renggang. Untuk apa menangis, meski sesak dalam dada kian berkecamuk. Embusan nafas berat nan panjang bagai pereda. Pilu ini melelahkan, mengusir alam kesadaran agar pergi lebih cepat, sisa kantuk yang datang beriringan.

Cahaya lampu remang-remang dari balik penerangan dekat meja belajar menghadap dinding. Sengaja untuk menghalau pencahayaan yang menyulitkan tidur, aroma terapi ruangan masih tercium segar pada sudut ruangan. Sedang gorden telah tertutup rapat dengan silau cahaya lampu jalanan.

Ponsel berdering dekat bantal, Rendra yang hampir terlelap meraih dengan malas, “Ya?”

“Sudah tidur?”

Terdengar suara Elin dari ujung panggilan, sontak Rendra langsung terbangun dari posisi tidur, duduk dengan setengah tubuh masih tertutup selimut. Perasaan sedikit seakan hilang dalam waktu sekejap, tersenyum tipis dengan suasana hati baru.

“Sudah tidur?” Elin bertanya lagi, sedikit suara jendela terdengar dibuka, “Aku di depan!”

Tubuh setengah sadar masih terdiam sesaat, mencerna ucapan barusan. Hanya beberapa detik tangan kanan menyisikan selimut yang menghalau, beranjak menuju  depan. Berjalan santai sambil mendengar angin malam, suara Elin masih tertahan di sana.

“Gue ganggu tidur elo ya?” suara yang terdengar jelas di ujung panggilan, namun pandangan Rendra menatap arah depan di mana Elin sedang berdiri menghadap ke arahnya.

“Enggak, tumben belum tidur jam segini?” meski sebenarnya Rendra sudah merasa kantuk, namun melihat Elin dari kejauhan terhalang jalan raya, membuatnya mengurungkan sejenak, “Tidur sana sudah malam, besok mesti sekolah!”

“Enggak tahu kenapa, gue enggak bisa tidur. Elo saja tidur duluan, nanti gue susul!”

“Elo mau tidur di rumah gue?” Rendra menahan udara dingin tengah malam, apalagi sekarang hanya mengenakan celana kain di atas lutut dengan kaos tanpa lengan.

“Tidur di rumah masing-masing maksud gue...”

“Kirain...” tawa kecil saling beriringan, “Besok elo bareng gue?”

“Besok gue berangkat agak pagi, ada piket kelas!” sejenak saling diam, “Elo enggak dingin malam-malam pakai pendek keluar kamar?”

“Lumayan dingin” tangan kanan Rendra sedari tadi menggosok lengan untuk memberi kehangatan pada tangan yang memegang ponsel di telinga kiri.

“Sudah jam segini, gue masuk kamar dulu” melambangkan tangan, “Makasih sudah temani gue ngobrol”

“Oke”

Rendra tetap berada di luar sejenak, memastikan bahwa lampu kamar Elin padam. Tiga menit kemudian cahaya lampu hilang dari pandangan, Rendra masuk ke dalam kamar, entah sudah berapa kali menguap.

Lampu kamar ikut padam. Menyisakan hamparan gelap berhias awan yang menutupi rembulan, suara hewan malam terdengar sedari tadi. Menandakan tengah malam hadir mengusik keramaian pinggir jalan, lingkungan komplek perumahan sepi tidak ada seorangpun selain satpam depan.

 

***

Diletakkan tas ransel mini pada punggung kursi, sebelum Elin duduk di kursi tersebut. Tangan kanan membuka tudung kaca berisi roti tawar, bersebelahan dengan selai kacang dan selai coklat.

Namun Elin memilih untuk mengoleskan selai kacang pada roti  yang sudah diletakkan pada piring putih. Mengoles secara merata lalu menutup dengan roti lagi, sambil menikmati seduhan teh hangat satu gigitan, menampilkan senyuman.

Sejenak terhenti mengunyah ketika tahu ada seseorang yang baru menuruni tangga, diikuti langkah kaki dari belakang. Menengok arah belakang saja tidak, menikmati sarapan pagi yang tidak pernah berganti menu lain, hari-hari sarapan roti sudah menjadi biasa untuk mengganjal perut.

“Langsung saja pergi enggak perlu bikin sarapan....” perdebatan dari lantai dua, belum terselesaikan hingga terbawa ke bawah. Ayah Ferry berhenti di tangga nomor delapan dari atas, melihat istri seakan tidak peduli ucapannya.

Langkah kaki tidak berlanjut hitungan, detik berbalik badan ke arah suara, “Apa enggak kelihatan di meja makan ada roti, enggak bisa oles sendiri?”

“Setiap hari makan roti, yang aku mau kamu itu masak. Harusnya kamu sebagai istri bangun pagi, masak siapkan sarapan untuk suami sama anak, bukan malah bangun tidur langsung berangkat kerja....” protes Ayah Ferry dengan suara keras bersatu emosi dengan sikap yang sudah sering dibantah.

“Masak? Kamu kan sudah tahu aku enggak bisa masak...”

“Belajar. Dasar wanita enggak berguna, keras kepala, maunya menang sendiri.....”

Ucapan itu seketika terpotong oleh emosi yang sudah ingin meledak, “Apa kamu bilang, aku enggak guna? Selama ini siapa yang bantu keuangan keluarga, aku kerja dari pagi. Bukannya sejak awal nikah, kamu suruh aku belajar mandiri, jadi enggak usah banyak omong jadi suami...”

“Aku ini kepala keluarga”

“Kepala keluarga?” ulang Mama Bella tersenyum meremehkan, “Yakin kalau kamu kepala keluarga? Bahkan aku enggak pernah merasa begitu, aku sibuk banyak pekerjaan jadi enggak ada waktu buat bahas ini”

“Satu lagi, kalau mau sarapan tinggal beli online. Kalau enggak mau masak sendiri, beli bahan-bahan di depan gerbang kompleks perumahan di sana lengkap.” Mama Bella berlalu pergi meninggalkan ruang tengah, berjalan ke depan untuk menyudahi perdebatan kurang penting. Mana ada waktu untuk sekedar menegur keberadaan Elin di rumah, berangkat pagi pulang malam hari lantas buat apa dipertanyakan lagi.

“Roti punya ayah sudah Elin siapkan di meja, Elin mau berangkat sekolah takut telat...” diselempangkan pada bahu sebelah kanan, beranjak pergi meninggalkan rumah, telinga terasa risi mendengar perdebatan yang selalu sama.

***

Dedaunan mulai ditinggalkan embun, semenjak mentari mulai datang, ketika itu pandangan mata melihat gerbang sekolah masih tampak sunyi. Sebab pagi ini berangkat naik ojek online. Laki-laki berumur mengenakan seragam atasan putih celana biru, siap untuk menyambut kehadiran siswa-siswi juga guru pengajar.

“Terima kasih pak”

“Iya mbak.” Elin membenarkan rambut usai mengenakan helm ojek online.

Hawa sejuk lingkungan kelas terasa menenangkan, embusan nafas ingin merasakan udara pagi. Ketika melewati tanaman juga pepohonan hijau yang selalu terawat dan tertata rapi, tampak seorang tukang kebun sedang menyapu halaman.

Hanya senyuman yang Elin berikan pada satpam itu, lalu dengan cepat dibalas senyuman hangat.  Samar-samar embusan angin mulai menggoyangkan anak rambut, pemilik rambut panjang namun tidak begitu lurus. Lipstik beli kemarin kini dipakai agar lebih terlihat cantik natural, polesan bedak memang tidak pernah lupa.

“Elin” panggil itu berasal dari belakang berjarak delapan meter, lalu Elin membalikkan badan melihat pemilik suara yang tidak lain sudah pasti Darian.

“Tumben berangkat lebih awal?” berjalan menghampiri, beberapa menit kemudian saling bersebelahan untuk kembali melanjutkan jalan.

“Iya, ada piket hari ini”

“Malam nanti elo ada waktu enggak? Gue mau ajak makan malam berdua....”

Judul: What Really Is Our Relationship?

Akun Media Sosial @lianasari993

lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Midnight Friends, What Really Is Our Relationship? Episode 9, Novel Remaja Romantis "