Masih Seperti Biasanya, Selaras Yang Bertepi. Episode 10, Novel Remaja Romantis
Novel Selaras Yang Bertepi Terbaru
“Nanti
malam ya! Jam berapa?” tidak seperti biasanya Darian mengaja Elin makan berdua.
“Jam
setengah delapan gue jemput, bisa?”
“Bisa.
Gue naik ke kelas mau piket, bye!” Elin berhenti sejenak sejak ada di depan
kelas jurusan IPA, tidak lupa melambangkan tangan dua kali sebelum pergi.
“Jangan
lupa nanti malam!” wajah Darian memperlihatkan ekspresi bahagia, setelah ajakan
tersebut dibalas dengan wajah bahagia pula, jarang-jarang bisa mendapatkan
momen begini apalagi kebiasaan Rendra yang suka mengacau keberadaannya dengan Elin.
“Iya.”
Sebelah
kaki kiri sudah menaiki tangga ke tiga dari bawah, ada suara kaki yang kini
mulai mengikuti dari belakang. Namun Elin tetap melanjutkan berjalan tanpa
melihat siapa sosok pendatang, mungkin saja itu siswa kelas lain sebab jika
satu kelas akan bertegur sapa.
Terlihat
ruang kelas masih sepi belum juga ada yang datang, sedangkan kelas lain sudah
terdengar obrolan, kelas jurusan IPS di ruangan ini memang jarang datang pagi
kecuali waktu piket. Sapu terletak pada belakang kelas pada gantungan baju,
terdapat kemoceng terbuat dari tali rafia.
Datanglah
Ghazi dengan mengenakan sumpalan telinga, memang kebiasaannya, untuk
menghindari sapaan cewek-cewek yang berpapasan. Agar terlihat tidak mengetahui,
padahal belum tentu memutarkan lagu. Tetapi wajah sok kurang peduli malah bikin
cewek-cewek suka dengannya.
“Itu
telinga elo sumpel enggak budek apa gimana?” tegur Elin sesaat pandangan pada
ambang pintu, menatap kehadiran Ghazi hanya melihat sekilas lalu berjalan ke
tempat duduk.
“Enggaklah,
dari tadi cuma gue pasang doang, malas gue dipanggil cewek-cewek....”
“Tuh
cewek pada cariin elo, Gha!” baru saja duduk di kursi sudah dibuat keributan
pada ambang pintu.
“Mbak-mbak
yang cantik, tolong jangan ganggu Ghazi sekarang, dia mau piket” kata Elin melihat
ke arah pintu ada tiga cewek, “Mending cari cowok yang lain saja, di kelas
sebelah banyak yang nganggur”
“Huu....”
serentak pergi dengan tampang tidak mengenakkan.
“Buruan
piket sana, hapus papan tulis di depan!” Elin melempar penghapusan ke arah
Ghazi tepat di genggamannya.
“Eh,
di kafe elo ada promo kopi enggak?” Elin menyapu pada bagian baris tempat
duduknya.
“Promo,
mana ada. Bukannya elo sudah gue kasih gratis ya bulan kemarin, masih
kurang...” ucap Ghazi tetap melihat papan tulis sedang dihapus dari bekas
spidol hitam.
“Itu
kan, gue bantuin elo jadi pelayan di kafe”
“Kapan-kapan
gue kasih gratis, sekarang lagi pusing mesti bayar uang sewa... sudah telat
satu bulan belum setor”
“Tumben,
biasanya selalu tepat waktu?”
“Biasa,
uangnya gue pinjam dulu buat servis motor” mengambil spidol di meja guru, lalu
menulis tanggal, bulan dan tahun pada sisi atas pojok papan tulis.
“Punya
Rendra, katanya juga baru di servis. Bareng elo?” pindah ke baris tengah
sebelahnya, lalu menyapu ke arah depan lagi.
“Iya,
tapi punya dia enggak habis banyak kayak sepeda gue. Gajinya saja minggu ini
belum gue bayar full, gue ngerasa enggak enak...”
“Rendra
pasti ngertilah”
Elin
menyapu dua baris kursi bersebelahan, lalu menyapu menuju arah pintu depan, di
mana letak tempat sampah dekat pot tanaman. Obrolan berhenti sesaat, memasukkan
bekas kotoran menyapu ke dalam tong tersebut.
Siswi
yang piket di hari yang sama sudah memegang sapu membersihkan setiap bawah
kursi, lain dengan satu cowok lagi masih belum datang. Biasanya akan piket jam
istirahat dengan Ghazi.
Satu
persatu kelas mulai terisi, hening tadi memberi suara berisi mengisi ruangan.
Obrolan bersahutan, begitu juga ruangan kelas sebelah tampak gaduh. Jendela
terbuka lebar, hawa dingin masih dapat dirasakan.
Elin
tetap mengenakan jaket sedari tadi menunggu bel masuk berbunyi. Jarum jam
menunjukkan pukul tujuh kurang tiga menit, pandangan Elin menatap arah pintu sambil
duduk di tempatnya.
Bel
jam masuk terdengar.
Ruang
kelas sudah dipenuhi siswa yang sudah siap untuk mengikuti jam pelajaran
pertama, Elin melihat Ghazi di sebelahnya, “Rendra kok belum datang juga ya!”
“Dari
tadi gue chat berkali-kali enggak dijawab!” jawab Ghazi duduk di belakang Elin,
tempat duduk di kelas bisa berubah sewaktu-waktu karena itu bisa saja
cowok-cowok memilih duduk di depan untuk menghindari pertanyaan dari soal yang
diberikan guru, bukan karena pintar.
“Bentar
lagi ada ulangan, kenapa bisa telat sih!” beo Elin selalu saja begitu jika
Rendra tidak kunjung datang ke sekolah, “Kebiasaan main game sampai lupa
waktu...”
“Mmm.....
Perhatian banget, jadi iri gue....” tambah Ghazi melihat pesan masuk dari layar
ponsel, memastikan kalau itu jawaban dari pesan yang dikirimnya.
“Gue
sama Rendra sudah sahabat dari dulu, ya jelas, gue perhatian ke dia”
“Gue
tahu kalik...”
Elin
teringat tentang gosip yang belum sempat ditanyakan, “Bukannya elo sudah punya
pacar? Anak kelas dua belas jurusan IPA?”
“Sudahlah,
elo tahu dari mana?”
“Beritanya
sudah tersebar satu sekolah, elo kan tahu sekolah di sini kayak apa” melihat
jam dari layar ponsel, lalu meletakkan kembali ke atas meja.
“Sebenarnya
gue mau tembak dia, tapi baru berani minggu kemarin. Elo tahu sendiri gue kek
gimana, kalau berurusan sama cewek...”
Meski
Ghazi sering menjadi idola cewek-cewek, tetapi ada hal yang paling di takuti
kalau ditolak.
“Tapi
elo di terima” mengalihkan pandangan dengan kehadiran Farrel, “Traktiran di
kafe elo ya!...”
“Ada
apa nih? Elo mau traktir kita, pasti gue datang paling awal” sahut Farrel duduk
di sebelah Ghazi, lalu meletakkan tas di punggung kursi.
Bel
masuk berbunyi.
Ibu
Rima guru sejarah datang dengan membawa pengharis besar, tidak lupa tas ransel
pada punggungnya, “Selamat pagi”
“Pagi,
Bu”
“Silahkan
dipimpin berdoanya” beliau meletakkan buku yang baru saja dikeluarkan dari
dalam tas, seraya duduk memandang satu persatu siswa di depannya.
“Sikap
tenang” Farrel mengambil alih situasi, “Berdoa di dalam hati mulai!”
Walau
suara dari luar terus mendominasi, obrolan juga lalu lalang siswa melintas
menuju kelas masing-masing. Doa tetap dipanjatkan dengan keyakinan yang dianut,
berharap diberi kelancaran proses pembelajaran hingga akhir.
“Berdoa
selesai” semua siswa mengangkat kepala dari posisi menunduk, “Selamat pagi, Bu
Rima”
“Selamat
pagi. Tugas hari ini.....” belum selesai berbicara ketukan pintu terdengar,
“Rendra cepat masuk!”
“Makasih,
Bu” Rendra sedikit terheran, biasanya kalau telat dilarang masuk namun hari ini
berbeda.
“Loh,
kok duduk?” bersamaan beliau beranjak dari tempat duduk, “Saya suruh masuk cuma
meletakkan tas, setelah itu kamu langsung ke toilet siswa laki-laki bersihkan
sampai bersih”
Elin
memegang lengan Rendra sesaat, “Sabar ya!”
Rendra
hanya mengangguk, seraya pergi meninggalkan kelas.
“Kita
lanjut. Ulangan hari ini akan di tunda dulu, karena saya ada tugas yang belum
selesai. Tentang tugas yang akan saya berikan hari ini, kalian harus membentuk
kelompok terdiri dari empat anggota, untuk membuat peta provinsi. Tentukan
provinsi yang ingin kalian buat.”
“Dengan
ukuran satu meter lawan satu meter. Bikin semirip mungkin dan jangan lupa
diwarnai, bagi tugas itu sesuai kemampuan dari kelompok kalian. Sudah jelas?” sambil
meraih spidol yang berada di sebelahnya, menulis nama kelompok.
Judul : What Really Is Our Relationship?
Penulis : lianasari993
Post a Comment for "Masih Seperti Biasanya, Selaras Yang Bertepi. Episode 10, Novel Remaja Romantis "