Waktu Kita, Selaras Yang Bertepi. Episode 7, Novel Remaja Romantis
Novel What Really Is Our Relationship Terbaru
Lantas
seperti apa itu sabar? Jika solusi hanya sekedar ucapan, semata hanya untuk
mencari kepopuleran demi menjaga kenyamanan atau sekedar ingin pencitraan. Lihatlah
obrolan yang kini sedang didengar, mengenai keluhan yang tidak berkesudahan,
hanya menyimak tanpa berbuat apa-apa.
Kalau
keadaan terus begitu perlahan semua akan kelelahan, sebab nilai mata uang bukan
semakin besar melainkan menurun dalam waktu singkat. Penghasilan kadang tidak
bisa menentukan jumlah pengeluaran, hingga mengakibatkan permasalahan baru yang
sama-sama melelahkan, ini bukan sebuah komedi!
“Harga
cabai, harga minyak, bawang merah sama bawang putih sudah naik dua bulan
terakhir. Kalau kayak gini berimbas pada rasa jualan.....” keluh penjual
mengambil ikan mujair yang ada di dalam lemari kaca untuk digoreng.
“Tapi
rasanya masih tetap enak pak!” jawab Rendra mencicipi lele yang masih panas
sebab baru dihidangkan.
“Rasanya
pasti tetap sama, cuma untung yang didapat sedikit. Yang biasanya tiga puluh
lima ekor ayam sekarang dua puluh ekor ayam, modal biasa ganti ke minyak goreng
sama cabai yang harganya enggak turun-turun. Kalau kayak gini kita semua yang
jualan juga bakal mengeluarkan uang banyak biar tetap bisa jualan, sambil
tunggu janji-janji harga kebutuhan sehari-hari kembali stabil....”
“Sekarang
apa-apa pada mahal, tapi harga lalapan masih sama kan pak”
“Masih
sama, sesuai kantong pelajar!” jawab penjual melihat Rendra dan Elin masih
mengenakan seragam putih abu-abu.
Rendra
yang mendengar jawaban itu hanya cengengesan, bukan bermaksud tidak sopan
tetapi ingin memastikan kalau uang yang dibawa masih pas untuk membayar,
apalagi gaji dari bekerja kemarin di kafe milik Ghazi sebagian ditabung. Meski
setiap bulan selalu mendapat kiriman transfer dari orang tua, namun Rendra tidak
mau berhenti bekerja.
“Elo
enggak kerja di kafe Ghazi?” Elin sedang memisahkan daging dari durinya, lalu
mencocol sambal terasi kesukaannya itu.
“Libur...”
“Gara-gara
antar gue beli lipstik?”
“Salah
satunya, kita sudah lama enggak makan berdua di sini, makanya gue tadi bilang
Ghazi enggak masuk kerja malam ini!” Rendra akan meluangkan waktu bahkan libur
bekerja hanya untuk bisa bersama Elin, walaupun kadang suka menolak jika diajak
nongkrong.
Hidup
Rendra memang lebih banyak digunakan untuk sekolah dan bekerja, jadi kalau
sampai rela meluangkan waktu sudah pasti orang tersebut sangat istimewa
baginya. Kesibukan orang tua membuatnya hanya bisa berkomunikasi lewat ponsel, jarak
yang lumayan jauh juga waktu terbatas kadang menjadi alasan mengapa jarang
berkomunikasi.
“Setelah
ini mau pergi ke mana lagi?” pertanyaan ini sebagai tanda bahwa Rendra telah
usai makan, padahal baru saja dimulai beberapa menit lalu langsung hilang
ditelan.
“Enggak
tahu malas pulang....!” pandangan tetap melihat tangan yang memisahkan daging
dari duri.
“Orang
tua elo masih suka ribut?” Rendra memang banyak tahu mengenai permasalahan yang
terjadi, karena sikap ceria yang dimiliki hanya akan terlihat jika berada di
luar rumah sedangkan di dalam rumah jarang tersenyum.
“Iya,
padahal masalah sepele. Kadang gue capek banget, sudah disekolah banyak tugas
di rumah banyak perdebatan, mau tidur enggak bisa soalnya pada gaduh sampai
tengah malam....”
Mungkin
orang luar akan bilang bahwa Elin beruntung punya keluarga yang utuh dan sering
ada di rumah, meski nyatanya itu semua hanya kegaduhan yang tidak berkesudahan.
Saling egois mengutarakan bahwa mereka saling mau menang sendiri, argumen
bernada tinggi sesekali lemparan benda sudah pasti terdengar jatuh ke lantai.
“Elo
enggak perlu mikirin hal itu, yang penting fokus sekolah, tetap jaga diri.
Kalau ada masalah langsung cerita ke gue, jangan dipendam sendiri, kita harus
saling ada untuk satu sama lain!”
“Iya,
Elo sahabat terbaik gue. Makasih!” Elin memperlihatkan wajah bahagia bisa
memiliki sahabat pengertian dan selalu ada.
Andai
persahabatan itu bisa merubah perasaan saling mencintai, mungkin banyak di
antara mereka yang melihat akan cemburu. Tetapi Rendra tidak pernah meminta supaya
Elin bisa belajar mencintainya, sebab ada keyakinan suatu saat nanti akan tahu
dengan sendirinya.
Terdiam
sejenak menutup obrolan, lain dengan Elin masih sibuk memisahkan daging lele
dari duri. Mencocol sambal, ditekankan di atas nasi hangat lalu di makan dengan
tangan. Oh, sungguh nikmat makanan yang tersedia.
Satu
orang berasa di sebelah Rendra beranjak dari tempat duduk, membayar selembar
uang berwarna biru. Setelah menerima uang kembalian langsung pergi menaiki
sepeda motor yang parkir di depan.
“Tumben
kalian jam segini sudah datang?” penjual dengan mengupas timun dengan pisau
kecil sekalian memotong miring-miring diletakkan pada piring plastik
sebelahnya.
“Iya
pak, habis ke mall anterin Elin beli lipstik” Rendra sudah mencuci tangan
dengan air kobokan berada di mangkuk plastik sebelahnya.
“Gitu
to” menerima uang dari salah satu orang yang baru saja ingin pergi, “Makasih”
Elin
selesai makan, “Ayo balik!”
Rendra
mengangguk, lalu memberikan uang warna merah pada penjual, masih tetap duduk
sambil menunggu uang kembalian.
Beberapa
lembar uang pecahan diberikan, “Jangan bosan-bosan mampir ke sini!”
“Kalau
gitu kita pamit pak, makasih!” Rendra menerima uang lalu dimasukkan ke dalam
saku celana sebelah kanan.
“Makasih
kembali.”
Elin
mengenakan helm, setelah itu menaiki boncengan, “Jalan-jalan bentar ya!”
“Mau
ke mana?” sudah mulai mengendarai kendaraan bermotor, melewati beberapa
kendaraan yang berjalan lebih lambat.
“Enggak
tahu, pokoknya jangan langsung pulang”
Hamparan
biru terang samar-samar tertutup awan putih, pada sebelah barat didominasi awan
putih terang oleh semburan warna jingga sedikit ada warna merah muda
bercak-bercak. Memandang langit lebih lama, seakan ada partikel kecil sedang
melayang terbang bebas.
Elin
tetap melihat ke atas depan sedikit mendongak, tidak lagi berbicara dengan
Krisna yang fokus berkendara. Lampu merah menghentikan pandangan Elin pada arah
depan sebelah kiri, tertulis papan ‘Belok Kiri lurus'.
Lalu
Rendra berjalan mengikuti petunjuk itu, melewati beberapa kendaraan yang tidak
mau mengalah. Berpegangan jaket dengan posisi bonceng samping, Elin mengenakan
rok sebab itu mesti berpegang.
“Gue
mau beli seblak di depan” tunjuk Elin menggunakan tangan kanan mengarah ke
sebuah gerobak pinggir jalan, “Elo mau enggak?”
“Mau,
tapi punya gue enggak usah pakai ceker ayam, ganti bakso” kendaraan perlahan
lebih pelan, Rendra menggeser lampu sen ke arah sebelah kiri jalan, “Gue tunggu
di sini”
“Punya
elo pedas apa sedang?” melepas helm bersamaan turun dari boncengan, Elin
memberikan helm ke Rendra.
“Sedang”
Hanya
ada satu pembeli yang sedang dilayani itu pun sudah dimasakkan. Akhirnya tidak
harus menunggu seperti biasanya, meski datang beberapa kali, hanya di sinilah
seblak yang menurut Elin cukup enak kuahnya.
***
Film
berjudul Yowes Ben menemani di waktu makan seblak. Alur cerita sederhana dengan
bumbu komedi sangat menghibur, terutama mengusung tema kisah remaja bercampur
bahasa jawa. Hampir sepuluh kali film ini diputar dalam waktu berbeda, kadang
membuat Rendra sedikit terheran.
“Padahal
baru kemarin malam nanton ini, sekarang nonton lagi, enggak bosan apa?” Rendra
hanya melihat saja, lain dengan Elin yang senantiasa menyimak setiap film
tontonannya.
“Enggak, habisnya ceritanya seru!” menyeruput kuah seblak sambil kepedasan, “Elo mau coba ceker gue?”
Judul : What Really Is Our Relationship?
Akun Media Sosial @lianasari993
Post a Comment for "Waktu Kita, Selaras Yang Bertepi. Episode 7, Novel Remaja Romantis "