Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Tolong, Jangan Pernah Berubah. Selaras Yang Bertepi. Episode 17, Novel Remaja Romantis

Novel Selaras Yang Bertepi Terbaru



“Selama ini kita sering bareng, terutama pas jadi OSIS. Kamu itu bisa bikin nyaman, pas di dekat kamu aku merasa ada sesuatu yang berbeda, perasaan yang enggak pernah aku temui di cewek lain dan aku menemukan itu di kamu!”

“Gitu ya!”

“Iya” sejenak pandangan Darian melihat pesanan sudah diletakkan pada meja, “Makan dulu, setelah itu kita lanjut obrolannya!”

Hanya anggukkan kepala sekali sebagai tanda, Elin lebih dulu mengambil segelas es teh manis dengan tangan kiri memegang gagang gelas, sedangkan tangan kanan pada jari telunjuk juga ibu jari menjepit sedotan sebelum diseruput. Merasa salah tingkah ketika Darian memerhatikan segala gerakan, lalu Elin mendongak kecil membalas tatapan.

“Jangan dilihat terus, aku grogi!”

Darian ternyata manis, “Habis kamu kalau dilihat dari dekat cantik, bikin gemas dilihatnya, pengen aku cubit pipinya”

Elin segera memegang kedua pipi seraya memanyunkan bibir, “Eehhhh... Darian, jangan gitu”

“Emang kenyataannya kayak gitu, apalagi pipi kamu mirip bakpao baru keluar dari tempat kukus” kata Darian diikuti tawa kecil, melihat tingkah laku Elin semakin menggemaskan jika salah tingkah karena ucapannya.

“Ahh...”

“Pipi kamu makin merah” tambah Darian semakin tertawa puas melihat tingkah laku yang membuatnya nyaman setiap kali bersama, karena sikap Elin padanya selalu menambah semakin tenang dan nyaman.

“Aku malu...” ditutup wajah dengan kedua tangan, tetapi pada bagian mata masih sedikit merongga hingga bisa melihat Darian terus memperhatikan, “jadi makan?”

“Ya jadilah...”

“Jangan lihatin aku terus....” rengek Elin menggigit bibir bagian bawah, sesekali mengalihkan pandangan agar tidak semakin memerah wajahnya.

“Iya deh, enggak aku lihat!” Darian mulai makan lebih dulu, kini tatapan netra fokus pada piring yang ada di depannya, walau sesekali melirik wajah Elin.


                                ***


“Yakin elo enggak lapar?” kembali memasuki, karena posisi Ghazi ingin sekali pergi ke kantin karena sudah lapar sejak tadi, namun tahu sendiri Rendra sedang berpikir yang bukan-bukan tentang Elin dan Darian.

“Nanti saja, malas gue lihat mereka berdua”

“Gue sebenarnya setia kawan, cuma cacing di dalam perut gue lagi demo minta makan, ayolah ke kantin sebentar. Atau gue beliin terus makan di kelas saja?” ide Ghazi baru saja mengelus perut yang berbunyi nyaring.

“Terserah elo” jawab Rendra mengambil ponsel dari dalam saku untuk mengusir rasa tidak nyaman di hati, mulai membuka sebuah game online sering dimainkan setiap harinya.

Ghazi berjalan keluar kelas meninggalkan Rendra yang sudah tidak peduli dengan dunia nyata, bahkan ada cewek-cewek yang sedang bercanda di dalam kelas sudah tidak berdampak sama sekali, karena hanya game sebagai penenang jika terjadi sesuatu pada sanubarinya.

Selang dua belas menit kemudian, Farrel memasuki ruang kelas dengan membawa camilan pada kemasan lumayan besar, duduklah pada kursi depan di mana keberadaan Rendra belum menyadari. Karena amatan netra begitu fokus menatap layar, sedangkan kedua tangan sibuk menggerakkan ke segala arah permainan.

“Elo main enggak ajak-ajak gue!” tegur Farrel meletakkan camilan sudah terbuka pada meja, lalu diambil ponsel dari saku seragam atas, “Woy Rendra”


                                ***


Sembari menunggu pesanan lalapan, Rendra sudah pasti akan berbicara dengan penjual meski itu hanya sekedar basa-basi, “Sambalnya yang banyak pak”

“Siap. Tumben banget dibawa pulang biasanya langsung dimakan di sini?” tanya penjual sedang membolak- balik lele agar matang merata.

“Dia yang minta” menunjukkan arah Elin dengan dagu diikuti mimik wajah, “Kalau saya nurut saja pak!”

Sedangkan Rendra mengelap piring menggunakan kain bersih sebelum meletakkan porsi nasi, kali ini ada tiga pembeli yang sudah menunggu pesanan sambil bermain ponsel sesekali ikut tersenyum untuk meramaikan, diletakkan nasi sesuai takaran pada mangkuk berukuran sedang. Rendra sudah terbiasa membantu penjual melayani pembeli, tidak heran jika sudah ramai bakal lama.

Tetapi Elin tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, karena kebiasaan sekaligus sikap Rendra sejak awal mengenal suka membantu dan mudah akrab dengan siapa saja. Lihat saja dirinya sedang sibuk dengan nasi biar tidak berserakan pada piring, seraya meletakkan di depan pembeli meski bebek goreng baru saja ditiriskan.

“Lagi pengen makan di rumah, pak jangan lupa nasinya tiga” menunjukkan tiga jari sambil tersenyum, “Sambalnya yang pedas”

“Walah-walah pelanggan tetap, sukanya sambalnya yang banyak, pedas lagi. Cabai lagi mahal gini!” keluh penjual hanya menggelengkan kepala, seraya meniriskan supaya minyak tidak terlalu banyak mengendap pada lele goreng.

“Rendra aku pengen sate usus ayam, setelah ini mampir ke angkringan ya bentar!”

“Iya. Enggak sekalian beli sate telur puyuh sama tempe mendoan, biar enggak kayak minggu kemarin kelupaan...”

Elin cengengesan teringat kalau minggu setelah pulang dari sini tidak mampir ke angkringan, “Banyak banget, kalau enggak habis gimana?”

“Ya gue habisin” jawab Rendra setiap keluar berdua, sudah terbiasa menghabiskan makanan dan minuman milik Elin. Jadi tidak heran jikalau semua sisa makanan yang tidak habis penampungan ada pada dirinya.

“Pak saya pesan lalapan dua, agak cepat ya, takut anak saya tidur sendirian di rumah!” pinta seorang wanita muda dengan menggunakan pakaian daster usai turun dari kendaraan, lalu duduk pada kursi plastik dekat Elin.

“Anaknya masih kecil, mbak?” penjual sedang mengulek sambal pada cobek berasal dari tanah liat berukuran kecil yang sudah ditunggu, oleh pembeli yang memesan bebek goreng.

“Iya pak, umur dua tahun”

“Punya saya saja pak di kasihkan ke mbaknya” sahut Rendra mengambil kertas pangsit di sebelahnya, “Enggak masalah kan?”

Elin tersenyum mengangguk, “Iya, kasihan kalau anaknya nangis!”

“Makasih mbak, maaf jadi merepotkan”

“Enggak pa-pa mbak” jawab Elin tersenyum lagi, entah sudah seberapa sering bibir ini menampilkan senyuman.

Penjual meletakkan bawang putih dan merah di depan Elin, “Sambil tunggu sekalian!”

“Wadah buat buang kulitnya di keresek ini, pak?” terdapat wadah plastik juga keresek tempat kedua jenis bumbu dapur berada, tidak lupa pisau berukuran kecil untuk mempermudah.

“Iya, dibuang di situ saja”


                              ***


“Sepi banget, pada ke mana?” ujar Rendra meletakkan makanan pada meja ruang keluarga sekaligus tempat nonton televisi, lalu duduk di bawah lesehan pada karpet, sedangkan punggung bersender di sofa.

“Ayah tadi pagi berangkat ke luar kota, kalau mama belum pulang, paling arisan” berjalan ke dapur untuk mengambil wadah, “Paling jam segini mbak sudah pulang kali ya”

“Sudah ada pembantu baru?”

“Cuma bersih-bersih rumah, kalau masak jarang, tahu sendiri di sini lebih suka makan di luar” duduk di sebelah Rendra, “Enaknya sekarang nonton apa?”

“Kalau gue terserah”

“Film hantu gimana?” pandangan Elin melihat arah Rendra sejenak, “Kalau enggak salah film yang rilis tahun lalu sudah ada deh, asli film Indonesia, kayaknya seru!”

“Emang berani?”

“Berani, tapi dikit” Elin tertawa kecil, seraya meletakkan makanan yang tadi beli di angkringan pada piring, tidak lupa sate ayam usus kesukaannya.

“Itu namanya takut” Rendra mengambil satu tusuk telur puyuh baru saja dikeluarkan dari wadah, “Mending film lain, malam-malam nonton film hantu, berani tidur sendiri?”

“Berani, tapi lampunya dinyalain semua” karena tadi Elin sudah mengambil wadah untuk cuci tangan, segera diambil lalapan yang sudah ingin segera disantap hingga tandas.

Read More.....

Judul :  Selaras Yang Bertepi 

Penulis : lianasari993


lianasari993
lianasari993 lianasari993 merupakan nama pena, kerap kali di panggil Lian. Lahir dan Besar di Jawa Timur. Membaca bagian dari hobi yang tidak bisa ditinggal hingga memutuskan untuk menulis sampai sekarang.

Post a Comment for "Tolong, Jangan Pernah Berubah. Selaras Yang Bertepi. Episode 17, Novel Remaja Romantis "